Kupang (Antara Maluku) - Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Timnas PKDTML) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangani masalah pencemaran Laut Timor tidak pernah menunjukkan kemajuan dalam kinerjanya, bahkan hanya mempermalukan Pemerintah dan Bangsa Indonesia.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, saat membeberkan hasil penelitian ilmiah yayasannya tentang kerugian akibat pencemaran di Laut Timor yang ditaksir sekitar 1,7 miliar dolar AS per tahun, di Kupang, Minggu.
"Taksasi ini mengacu pada kerugian sosial ekonomi yang diderita masyarakat nelayan, petani rumput laut dan pedagang ikan di Nusa Tenggara Timur, sejak meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009," katanya.
Tanoni, yang juga pemerhati masalah Laut Timor, mengatakan data tersebut telah disampaikan kepada anggota Dewan Energi Nasional di Jakarta pada Kamis (13/4).
Menurut dia, Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Timnas PKDTML) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangani kasus tersebut tidak pernah menunjukkan kemajuan dalam kinerjanya.
"Tim yang dipimpin mantan Menteri Perhubungan, Freddy Numberi, dan Deputy Menteri Negara Lingkungan Hidup, Masneyarti Hilman, itu tidak menuai hasil apapun bahkan hanya mempermalukan Pemerintah dan Bangsa Indonesia di mata dunia internasional karena ketidakmampuan mereka menuntaskan petaka Montara di Laut Timor," kata Tanoni menegaskan.
Mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini mengungkapkan, sejak sumur minyak Montara meledak di Laut Timor, hasil tangkapan para nelayan turun drastis, budidaya rumput laut gagal total akibat wilayah perairan budidaya tercemar serta merusak dan menghancurkan tatanan terumbu karang.
Tanoni, yang juga penulis buku "Skandal Laut Timor Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta", mengatakan taksasi kerugian itu berdasarkan pencemaran di laut yang meliputi wilayah perairan Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Timur, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara hingga Kabupaten Alor dan Lembata.
Dikatakannya, tiga tahun sudah petaka pencemaran maha dahsyat itu melanda Laut Timor dan bahkan telah menimbulklan korban jiwa, namun Pemerintah Indonesia terkesan tidak menaruh perhatian sama sekali pada masalah tersebut.
"Atas dasar itu, saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan kepada anggota Dewan Energi Nasional agar dapat menyampaikan persoalan tersebut kepada Presiden SBY bahwa masyarakat korban petaka Laut Timor melalui YPTB sudah siap mengajukan gugatan resmi terhadap Pemerintah Australia, Indonesia dan PTTEP Australasia di pengadilan Australia dan internasional," katanya.
Tuntutan kami, lanjutnya, adalah hak-hak masyarakat yang mengalami kerugian sosial ekonomi dan ancaman kesehatan terhadap jutaan orang yang mengonsumsi ikan dan biota laut lainnya dari Laut Timor yang telah terkontaminasi zat sangat beracun dispersant.
Tanoni menambahkan, pihaknya juga sudah menemui berbagai pihak mulai dari Pemerintah Provinsi NTT, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Khusus Presiden RI dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tetapi diabaikan begitu saja.
"Jalan terakhir yang kami lalui adalah menemui Prof Dr Mukhtasor, anggota Dewan Energi Nasional untuk menyampaikan rencana gugatan terhadap Pemerintah RI dan Pemerintah Australia terkait hak-hak ratusan ribu masyarakat yang menjadi korban pencemaran Laut Timor," ujarnya.
Menurut Prof Dr Mukhtasor, Pemerintah Indonesia hingga saat ini tidak pernah melakukan penelitian ilmiah yang patut, kredibel dan transparan terkait pencemaran Laut Timor, meski dampak dari pencemaran itu sangat luar biasa bagi seluruh biota Laut Timor serta masyarakat di pesisir kepulauan NTT.
Berdasarkan penelitian ilmiah, bubuk zat kimia yang disebut dispersant yang ditaburkan oleh Australia Maritime Safety Authority (AMSA) di lokasi pencemaran untuk menenggelamkan gumpalan-gumpalan minyak mempunyai pengaruh negatif terhadap kehidupan di laut.
Jenis dispersant yang disebarkan ke laut, yakni jenis tergo R40 (1.000 liter), slickgone LTSW (38.000 liter), shell VDC (5.000 liter), Corexit EC9500 (17.000 liter), slickgone NS (63.000 liter), ARDROX 6120 (32.000 liter) dan corexit EC 9527A (27.720 liter).
"Total bubuk beracun yang semprotkan AMSA ke Laut Timor sebanyak 184.135 liter. Ini sesuatu yang sangat memprihatinkan, namun pemerintahan kita tidak pernah menanggapi bencana di Laut Timor itu secara serius," kata Mukhtasor.
Menurut dia, petaka Laut Timor itu tak ada bedanya dengan bencana Lapindo di Sidoarjo. Hanya saja, Pemerintah lebih fokus menangani bencana Sidoarjo, sedangkan Laut Timor yang juga punya dampak negatif tak dihiraukan.
"Lapindo itu kan ada anggarannya setiap tahun dari APBN dan seharusnya untuk masyarakat di NTT yang terkena dampak pencemaran laut pun perlu diperhatikan," katanya.
Ia mendukung berbagai langkah yang selama ini dilakukan YPTB, sebab jika ditunda, maka lama-kelamaan bukti-bukti pencemaran akan hilang.
"Kalau dibiarkan terus maka lama-lama bukti-bukti pencemaran di laut itu akan hilang, dan masyarakat yang akan dirugikan," kata Mukhtasor. (T.L003/B/Z002/Z002)
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012
Hal tersebut dikemukakan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, saat membeberkan hasil penelitian ilmiah yayasannya tentang kerugian akibat pencemaran di Laut Timor yang ditaksir sekitar 1,7 miliar dolar AS per tahun, di Kupang, Minggu.
"Taksasi ini mengacu pada kerugian sosial ekonomi yang diderita masyarakat nelayan, petani rumput laut dan pedagang ikan di Nusa Tenggara Timur, sejak meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009," katanya.
Tanoni, yang juga pemerhati masalah Laut Timor, mengatakan data tersebut telah disampaikan kepada anggota Dewan Energi Nasional di Jakarta pada Kamis (13/4).
Menurut dia, Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Timnas PKDTML) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangani kasus tersebut tidak pernah menunjukkan kemajuan dalam kinerjanya.
"Tim yang dipimpin mantan Menteri Perhubungan, Freddy Numberi, dan Deputy Menteri Negara Lingkungan Hidup, Masneyarti Hilman, itu tidak menuai hasil apapun bahkan hanya mempermalukan Pemerintah dan Bangsa Indonesia di mata dunia internasional karena ketidakmampuan mereka menuntaskan petaka Montara di Laut Timor," kata Tanoni menegaskan.
Mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini mengungkapkan, sejak sumur minyak Montara meledak di Laut Timor, hasil tangkapan para nelayan turun drastis, budidaya rumput laut gagal total akibat wilayah perairan budidaya tercemar serta merusak dan menghancurkan tatanan terumbu karang.
Tanoni, yang juga penulis buku "Skandal Laut Timor Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta", mengatakan taksasi kerugian itu berdasarkan pencemaran di laut yang meliputi wilayah perairan Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Timur, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara hingga Kabupaten Alor dan Lembata.
Dikatakannya, tiga tahun sudah petaka pencemaran maha dahsyat itu melanda Laut Timor dan bahkan telah menimbulklan korban jiwa, namun Pemerintah Indonesia terkesan tidak menaruh perhatian sama sekali pada masalah tersebut.
"Atas dasar itu, saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan kepada anggota Dewan Energi Nasional agar dapat menyampaikan persoalan tersebut kepada Presiden SBY bahwa masyarakat korban petaka Laut Timor melalui YPTB sudah siap mengajukan gugatan resmi terhadap Pemerintah Australia, Indonesia dan PTTEP Australasia di pengadilan Australia dan internasional," katanya.
Tuntutan kami, lanjutnya, adalah hak-hak masyarakat yang mengalami kerugian sosial ekonomi dan ancaman kesehatan terhadap jutaan orang yang mengonsumsi ikan dan biota laut lainnya dari Laut Timor yang telah terkontaminasi zat sangat beracun dispersant.
Tanoni menambahkan, pihaknya juga sudah menemui berbagai pihak mulai dari Pemerintah Provinsi NTT, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Khusus Presiden RI dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tetapi diabaikan begitu saja.
"Jalan terakhir yang kami lalui adalah menemui Prof Dr Mukhtasor, anggota Dewan Energi Nasional untuk menyampaikan rencana gugatan terhadap Pemerintah RI dan Pemerintah Australia terkait hak-hak ratusan ribu masyarakat yang menjadi korban pencemaran Laut Timor," ujarnya.
Menurut Prof Dr Mukhtasor, Pemerintah Indonesia hingga saat ini tidak pernah melakukan penelitian ilmiah yang patut, kredibel dan transparan terkait pencemaran Laut Timor, meski dampak dari pencemaran itu sangat luar biasa bagi seluruh biota Laut Timor serta masyarakat di pesisir kepulauan NTT.
Berdasarkan penelitian ilmiah, bubuk zat kimia yang disebut dispersant yang ditaburkan oleh Australia Maritime Safety Authority (AMSA) di lokasi pencemaran untuk menenggelamkan gumpalan-gumpalan minyak mempunyai pengaruh negatif terhadap kehidupan di laut.
Jenis dispersant yang disebarkan ke laut, yakni jenis tergo R40 (1.000 liter), slickgone LTSW (38.000 liter), shell VDC (5.000 liter), Corexit EC9500 (17.000 liter), slickgone NS (63.000 liter), ARDROX 6120 (32.000 liter) dan corexit EC 9527A (27.720 liter).
"Total bubuk beracun yang semprotkan AMSA ke Laut Timor sebanyak 184.135 liter. Ini sesuatu yang sangat memprihatinkan, namun pemerintahan kita tidak pernah menanggapi bencana di Laut Timor itu secara serius," kata Mukhtasor.
Menurut dia, petaka Laut Timor itu tak ada bedanya dengan bencana Lapindo di Sidoarjo. Hanya saja, Pemerintah lebih fokus menangani bencana Sidoarjo, sedangkan Laut Timor yang juga punya dampak negatif tak dihiraukan.
"Lapindo itu kan ada anggarannya setiap tahun dari APBN dan seharusnya untuk masyarakat di NTT yang terkena dampak pencemaran laut pun perlu diperhatikan," katanya.
Ia mendukung berbagai langkah yang selama ini dilakukan YPTB, sebab jika ditunda, maka lama-kelamaan bukti-bukti pencemaran akan hilang.
"Kalau dibiarkan terus maka lama-lama bukti-bukti pencemaran di laut itu akan hilang, dan masyarakat yang akan dirugikan," kata Mukhtasor. (T.L003/B/Z002/Z002)
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012