Kapal TNI AL yang membawa rombongan Direktur Sumber Daya Perikanan Sere Alina Tampubolon bertolak dengan tenang dari pelabuhan dekat Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tual. Kecepatannya mungkin sekira 5 knot.

Hari itu, Senin, 23 Maret 2015, laut di teluk Kota Tual memang tenang. Sinar matahari cukup menyengat kendati waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIT.

Dalam rombongan ada antara lain Komandan Lanal Tual Kolonel Laut (P) Hari Wijayanto, Kepala Stasiun PSDKP Tual Mukhtar, Kahumas PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan Sahono, sejumlah satgas PSDKP dan aparat Lanal Tual, dan Yosep Sairlela yang akrab disapa Pak Ocep.

Tujuan mereka meninjau KM Pulau Nunukan yang dipaksa lego jangkar untuk keperluan pemeriksaan terhadap keabsahan muatannya, yakni 660 ton ikan campuran dalam 24 peti kemas berpendingin milik PT. Pusaka Benjina Resources.

Kapal dengan nahkoda Kapten Joni Sulle itu awalnya ditahan Lanal Aru atas permintaan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan kemudian dievakuasi ke Tual untuk pemeriksaan dokumen-dokumennya.

Kunjungan di atas KM Pulau Nunukan berlangsung sekira 90 menit. Setelah berbincang dengan Joni Sulle dan melihat-lihat peti kemas berisi ikan yang disegel, rombongan meneruskan peninjauan ke pelabuhan milik Maluku Timur Jaya.

Kendati kapal tidak merapat, terlihat jelas 60-an kapal ikan milik perusahaan itu yang sandar berjejer di perairan sekitar pelabuhan.

Berbeda dari anggota rombongan yang umumnya berbicara mengenai dampak moratorium yang membuat kapal-kapal itu tidak bisa beroperasi, Pak Ocep terlihat "diam-diam saja" dan lebih banyak melempar pandangan mata jauh ke depan.

Kini, Kepala Pos PSDKP Benjina itu telah tiada. Keterangan dari kementerian menyatakan visum telah dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti kematiannya.

Sabtu, 18 April lalu, Pak Ocep ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di kamar sebuah hotel di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Semua orang bertanya-tanya apa gerangan yang menimpanya.

Sementara kedatangan Pak Ocep ke Ibu Kota diduga untuk memberikan laporan ke kementerian tentang dugaan praktik perbudakan terhadap ratusan ABK (anak buah kapal) asing asal Thailand, Myanmar, Kamboja dan Laos di Benjina.

Ia bahkan disebut-sebut sebagai saksi kunci yang dapat mengungkapkan benar-tidaknya dugaan itu.


Korban Pembunuhan?

Kematian Pak Ocep memunculkan pertanyaan apakah ia menjadi korban pembunuhan? Atas pertanyaan itu Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berani berspekulasi dan menyerahkan semua pada hasil visum yang telah dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Hasil visum itu kabarnya akan diumumkan lewat dua pekan setelah kematian Pak Ocep.

Andi Sairlela, adik kandung almarhum, menyatakan pihak keluarga telah menerima keterangan dari Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Asep Burhanudin, bahwa Yosep Sairlela kemungkinan meninggal dunia akibat serangan jantung.

Menurut Andi, keluarga besar Sairlela siap menerima kenyataan apapun yang terungkap nanti setelah hasil visum diumumkan.

"Keterangannya bahwa hasil autopsi akan diserahkan dua minggu setelah kematian kakak saya," katanya.

Ia juga menyatakan keluarga siap menerima kenyataan apabila memang hasil autopsi itu sama dengan keterangan dari pihak KKP, tetapi bila berbeda, maka misteri kematian Yosep harus diusut tuntas.

"Hasil autopsinya kami minta diserahkan ke Bareskrim Polri," kata Andi.

Harapan keluarga Sairlela agar misteri kematian Pak Ocep diusut tuntas tentu tidak boleh ditanggapi dingin oleh kepolisian.

Hal itu karena seluruh anggota keluarga telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri pada wajah almarhum terdapat luka dekat mata kanan, selain luka di belakang telinga kanan, dan lebam bekas hantaman benda tumpul pada bagian kaki.

Indikasi bahwa Pak Ocep adalah korban tindak kekerasan yang kemudian dikaitkan dengan isu perbudakan ABK asing di Benjina cukup kuat, karena semasa hidup dia adalah petugas yang ditempatkan untuk melakukan pengawasan di daerah itu.

Sejak laporan wartawan Associated Press berjudul "Was Your Seafood Caught By Slaves?" yang menggambarkan adanya penjara dan kuburan di Benjina dikutip berbagai media cetak dan elektronik nasional, empat negara yakni Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja mengirim utusan ke Dobo, Benjina dan Tual.

Selain itu, tim penyelidik dari Mabes Polri dan Komnas HAM pun hadir di sana, tidak terkecuali utusan dari IOM (International Organization for Migration) yang peduli pada masalah-masalah migrasi manusia untuk alasan mencari kehidupan layak.

Sampai saat ini, sedikitnya ada 347 ABK asal Myanmar, Kamboja dan Laos yang sudah dievakuasi dari Benjina ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual, menunggu proses pemulangan mereka ke negara asal.

Para ABK itu mengaku ingin pulang karena tidak tahan terhadap siksaan, sementara mereka digaji tidak setimpal bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali.

Dari penyelidikan yang dilakukan, Bareskrim Polri mendapati adanya ABK di bawah umur, sementara Komnas HAM menarik kesimpulan ada praktik perdagangan manusia di Benjina.

Meskipun empat negara asing yang terlibat, yakni Thailand, Myanmar, Kamboja dan Laos sejauh ini belum memberikan komentar apapun, hasil yang didapat Bareskrim Polri dan Komnas HAM patut dijadikan pegangan untuk dilakukan penyelidikan yang lebih intens oleh aparat penegak hukum.

Lebih dari itu, pengungkapan kematian Pak Ocep bisa menjadi titik berangkat bagi upaya keras untuk mengungkapkan isu perbudakan itu.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015