Ambon, 8/2 (Antara) - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis mengatakan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.

Yuliandre pada Dialog Publik Nasional dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN 9 Februari 2017, di Swiss Belhotel Ambon, Selasa (7/2) mengatakan frekuensi milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaanya harus sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.

"KPI lebih fokus pada isi siaran daripada infrastruktur," katanya dalam Dialog Publik Nasional dengan tema, "Media Penyiaran Perbatasan Ketahanan Nasional" ini.

Menurut dia, KPI perlu bersinergi dengan Kementerian Kominfo untuk memahami apa yang menjadi problem di wilayah perbatasan, dimana masyarakat di daerah tersebut bisa mendapatkan informasi yang layak dan benar.

"Kita pahami bahwa Undang-Undang Penyiaran salah satu dorongannya adalah bagaimana masyarakat mendapatkan hak informasi yang baik dan benar, didukung dengan infrastruktur yang baik melalui konten-konten yang bisa dipahami oleh masyarakatn luas," katanya.

Yuliandre mengakui luberan informasi dari negara-negara tetangga di daerah-daerah perbatasan, rata-rata kalah bersaing informasi di dalam negeri, karena kondisi infrastruktur seperti frekuensi dan lainnya sangat terbatas.

"Dari 12 titik di provinsi perbatasan, rata-rata frekuensi informasi televisi negara tetangga sangat kuat, ini sangat berpengaruh terhadap tatanan layanan informasi yang adil dan merata, informasi yang baik dan benar di Tanah Air, karena informasi menjadi hak masyarakat yang dijamin dalam Undang-Undang Penyiaran," katanya.

Karena itu, KPI mendorong dan isu yang sangat strategis, untuk dibahas dan menjadi prioritas utama dalam penangananya.

"Kementerian Kominfo perlu memperkuat infrastruktur di wilayah perbatasan, sehingga masyarakat Indonesia di daerah tersebut mendapatkan hak informasi yang baik dan benar. Ini menjadi isu yang kuat, sehingga diskusi atau dialog publik nasional kita angkat lebih awal dalam rangka HPN 2017, di Ambon," kata Yuliandre.

Direktur Penyiaran Kementerian Kominfo Geriyantika Kurina menyatakan lembaga penyiran swasta tidak bisa memperluas jangkauan sampai ke daerah perbatasan, karena tidak ada profit yang didapatkan.

"Kita akan dorong TVRI dan RRI dengan mensupport dana supaya bisa menjangkau ke daerah perbatasan, apalagi kalau masuk dalam list Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131 Tahun 2015 tentang Daerah Tertinggal, sehingga menjadi prioritas Kominfo kepada TVRI dan RRI," kata Geriyantika.

Menurut dia, di Maluku ada tiga lokasi di daerah perbatasan, yang menjadi perhatian pihaknya pada tahun anggaran 2017.

"Insyah Allah nanti TVRI dan RRI mendapat dukung dana USO Telekomunikasi Kominfo. TVRI dan RRI akan membuat planing, daerah mana saja yang akan dibangun perangkat sistemnya sehingga informasi bisa menjangkau daerah perbatasan secara menyeluruh. Terpenting adalah isi siaran yang berkualitas, sehingga bisa bersaing dengan negara tetangga," ujarnya.

Disinggung soal izin penyiaran dan frekuensi, menurut Geriyantika, sebenarnya untuk izin penyiaran ada beberapa cara pengajuan permohonan. Untuk TV Kabel, yang tidak memerlukan frekuensi, bisa mengajukan izin langsung.

"Mereka mengajukan ke Kementerian Kominfo melalui KPI dan KPID. Proses awalnya adalah dari KPID. Nanti permohonan itu, setelah memenuhi syarat-syarat, KPID mengeluarkan rekomendasi kelayakan. Dengan dasar rekomendasi itu, diusulkan melalui KPI pusat untuk pengurusan permohonan izin, "jelasnya.

Sedangkan untuk izin LPP (Lembaga Penyiaran Publik) swasta, sebenarnya selama masih ada TVRI dan RRI, lembaga penyiaran publik lokal tidak boleh mendirikan, tetapi kalau tidak terjangkau oleh TVRI atau RRI, Pemda bisa mengajukan izin Radio dan TV lokal, selama alokasi frekuensinya ada.

"Dulu proses perizinan sesuai aturan, waktunya 104 hari, tetapi karena prosesnya tidak jelas di Permen Kominfo No.28 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan, akhirnya kita perbaiki sehingga proses lebih jelas. Misalnya, di KPID, KPI dan Kominfo berapa lama. Masing-masing bisa diketahui waktu proses perizinan berapa lama," ungkapanya.

Karena itu, dengan proses waktu yang jelas, pemohon bisa lebih mudah memantau proses perizinan.

. "Kita sarankan menggunakan fasilitas perizinan elektronik melalui web (E-Licensing), artinya pemohon tidak perlu lagi memantau permohonan itu ke pusat, tetapi bisa melihat di internet, prosesnya sudah di mana, apakah masih di KPID, KPI atau Kominfo," kata Geriyantika.

Dengan sistem otomatis, lanjutnya, bisa lebih cepat sehingga izin yang dulunya satu, dua sampai lima tahun, sekarang sudah bisa diselesaikan dalam waktu dua hari atau satu Minggu.

"Dengan sistem E-Licensing atau proses izin otomatis elektronik, tidak perlu lagi paraf-paraf, karena setelah selesai semua persyaratan bisa dicetak langsung," ujarnya. 

Pewarta: Rofinus E. Kumpul

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017