Ambon, 9/11 (Antara Maluku) - Meski terdapat banyak potensi kekayaan alam laut dan darat yang melimpah, namun Provinsi Maluku tidak memiliki pusat-pusat industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar.

"Bila provinsi ini memiliki pusat-pusat industri kerajinan atau industri pengolahan yang berskala menengah atau besar tentunya akan membantu pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pengurangan angka pencari kerja," kata ketua Komisi D DPRD Maluku, Saadyah Uluutty di Ambon, Kamis.

Menurut dia, yang beroperasi di Maluku saat ini adalah perusahaan berskala kecil dan menengah dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tidak terlalu besar dan standar upah minimum provinsi (UMP) yang baru ditetapkan pemprov untuk diberlakukan tahun 2018 hanya sebesar Rp2,222 juta.

Perusahaan kecil yang ada seperti rumah kopi, warung atau restoran, pertokoan, hingga penginapan. Sedangkan yang berskala menengah seperti perhotelan, perusahaan udang Arara di Maluku Tengah atau colstorage di Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon.

Sementara kebutuhan hidup layak (KHL) Maluku sekarang sudah mencapai Rp2,5 juta dan tentunya belum berimbang dengan standar UMP yang telah ditetapkan pemerintah daerah untuk diberlakukan mulai tahun depan.

"Rumusan untuk menyusun UMP itu selalu didasarkan pada variabel-variabel tertentu yang dilakukan Dewan Pengupahan Daerah dan terdiri dari unsur pemerintah daerah, pengusaha serta perwakilan serikat buruh," katanya.

Bila ada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan pemerintah terkait pembayaran upah atau gaji sesuai standar UMP yang telah ditetapkan, maka itu tergantung pengawasan intensif dari semua pihak.

"Karena dalam hal pembayaran gaji karyawan, itu tergantung pendapatan perusahaan setiap bulannya karena orang tidak mungkin mau mengalami kerugian," ujarnya.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017