Jakarta (ANTARA) - Pepatah Inggris yang berbunyi "It's not about the gun, but the man behind the gun" sangat relevan dengan dinamika politik Indonesia.Dalam hal ini, sehebat apa pun sebuah sistem pemilu, kualitas demokrasi akan selalu bergantung pada individu yang menjalankannya.
Bangsa Indonesia sudah lebih dari 10 kali menyelenggarakan pemilu sejak kemerdekaan. Namun mekanisme pelaksanaannya terus berubah karena ada penyempurnaan. Jika ditelusuri, perubahan sistem pemilu di Indonesia dari periode ke periode adalah memperkuat hak publik untuk memilih secara langsung.
Di saat ada upaya memperbaiki keadaan bangsa dengan hak memilih langsung yang dimiliki rakyat, sudah bukan rahasia bahwa pemilu justru dinodai oleh kecurangan-kecurangan.
Bahkan selain kecurangan yang bisa dilakukan oleh kandidat, dalam beberapa kasus, oknum penyelenggara pemilu juga bisa terseret dalam kecurangan tersebut.
Saat ini, banyak pemikiran dari berbagai kalangan bahwa penyempurnaan sistem pemilu bukan satu-satunya jawaban untuk memperbaiki demokrasi.
Pemilu adalah ajang untuk memilih sosok-sosok yang akan mengelola bangsa.
Sesuai mekanisme yang masih berlaku, presiden dan wakil presiden, atau kepala daerah dan wakil kepala daerah, harus dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik jika ingin mencalonkan.
Termasuk para legislator di berbagai tingkatan, juga perlu menaiki "perahu" yang bernama partai politik untuk bisa melenggang ke parlemen.
Artinya, partai politik memiliki peranan besar dalam menentukan kualitas demokrasi. Dengan kualitas kader-kader yang dimiliki, seharusnya pemenang pemilu bukan ditentukan dengan biaya, melainkan dengan gagasan dan integritas.
Revisi UU Pemilu pada periode 2024-2025 menjadi usulan Badan Legislasi DPR RI. Ide-ide dari sejumlah legislator dan pakar menginginkan agar UU Pemilu yang akan muncul nantinya berupa kodifikasi, gabungan antara UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik.
Hilangkan politik uang
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Prabowo Subianto juga sudah mengungkapkan bahwa pemilu di Indonesia memiliki biaya yang sangat mahal.
Ungkapan Prabowo itu merujuk pada kondisi di mana biaya penyelenggaraan pemilu yang tidak murah. Di balik itu, nyatanya para kandidat juga perlu menggelontorkan biaya yang besar untuk bisa memenangkan ajang politik.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa modal yang perlu dikeluarkan oleh seorang calon pada era ini sangat jomplang dibandingkan dengan satu dekade lalu.
Untuk setingkat DPRD kabupaten/kota, seorang calon legislatif hanya membutuhkan biaya sekitar Rp50 juta untuk bisa maju menjadi peserta pemilu/pemilu legislatif. Sedangkan saat ini modal yang perlu dikeluarkan oleh calon legislatif DPRD kabupaten/kota, menurut dia, sudah mencapai Rp1,5 miliar.
"Itu untuk DPRD kota saja, berarti bayangkan DPR RI, berapa?" kata Dede Yusuf.
Selain itu, Anggota Badan Legislasi DPR RI Muslim Ayub, secara blak-blakan dalam rapat resmi mengungkapkan bahwa seorang wakil rakyat rata-rata perlu menggelontorkan Rp20 miliar lebih untuk bisa "duduk" di Senayan.
Dengan hal itu, dia menilai bahwa masing-masing legislator di Senayan dalam kondisi yang meninggalkan utang ketika menjabat sebagai wakil rakyat.
Maka jangan heran jika para pejabat yang terpilih hilang fokus ketika bekerja selama lima tahun untuk melayani rakyat, karena mereka pun memiliki utang politik dalam bentuk apapun yang harus dibayar.
Luky Sandra Amalia, dalam bukunya Dinamika Sosial Politik Pemilu Serentak 2019 yang diterbitkan LIPI tahun 2021, berpendapat bahwa praktik politik uang selalu muncul setiap pelaksanaan pemilu di era reformasi, terutama sejak 2004.
Praktik politik uang tentunya mencederai semangat demokrasi yang dianut. Pasalnya seorang kandidat akan terpilih bukan didasari oleh kapasitasnya, melainkan oleh jumlah uang yang diberikan kepada pemilih.
KPK pun sudah menyarankan agar pemerintah menaikkan nominal dana partai politik guna mencegah praktik-praktik korupsi yang menyangkut parpol atau proses politik.
Sejauh ini, pembiayaan partai politik memang menjadi suatu permasalahan yang jarang menjadi perhatian. Salah satu contohnya, partai politik membutuhkan biaya sangat besar untuk memberi upah saksi di seluruh TPS jika pemilu dilaksanakan secara nasional.
Artinya partai politik memerlukan biaya yang bersumber dari kandidat yang dicalonkannya. Jika pemilihan legislatif masih menggunakan sistem nomor urut, jangan heran jika kandidat yang mempunyai modal besar dipasang pada nomor urut 1.
Maka dari itu, celah-celah politik uang yang bisa terjadi tersebut perlu dipikirkan untuk diminimalisir oleh DPR RI yang akan merumuskan RUU.
Produsen calon pemimpin
Usulan dari KPK soal kenaikan dana partai politik yang semula sebesar Rp1.000 per suara untuk naik 10 kali lipat itu disambut positif oleh berbagai politisi.
Namun jika dana itu bersumber dari APBN, maka permasalahannya adalah mengenai kemampuan fiskal negara.
Atas hal itu, beberapa pihak pun mengusulkan agar partai politik diperbolehkan menggelar badan usaha atau melegalkan penerimaan bantuan dari pihak swasta/konglomerat.
Berbagai usulan itu disampaikan hanya untuk satu tujuan, yakni agar partai politik bisa mandiri dan tak mengandalkan cara-cara kotor untuk membiayai diri.
Kini sudah jarang publik mendengar ada konvensi yang diselenggarakan oleh partai politik untuk memilih calon pemimpin rakyat, dengan lomba adu gagasan dan pemikiran.
Pada praktiknya, kini partai politik cenderung memilih calon presiden atau calon kepala daerah berdasarkan keputusan elit internal, negosiasi, hingga pertimbangan survei elektabilitas.
Padahal partai politik semestinya merupakan sumber calon pemimpin yang inklusif bagi semua orang.
Maka jika pembiayaan sudah tidak lagi menjadi soal bagi partai politik, kehadiran pemimpin yang berkualitas dan berintegritas tanpa mengandalkan politik uang adalah sebuah keniscayaan.
Berkaca dari segala peristiwa politik yang ada di Indonesia, sebaiknya revisi UU Pemilu atau UU Partai Politik tak hanya berkutat pada masalah sistem, melainkan juga mengevaluasi perilaku para politisi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: RUU Pemilu, ajang perbaikan sistem parpol demi kesehatan demokrasi