Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Yunarwanto mengatakan tuntutan terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto adalah sebuah proses pembelajaran.
"Tuntutan pidana ini bukanlah merupakan sarana balas dendam, melainkan suatu pembelajaran agar kesalahan-kesalahan serupa tidak terulang di kemudian hari," kata Wawan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Wawan menegaskan bahwa dalam tuntutan tersebut, KPK menekankan pada pembuktian dakwaan menggunakan alat bukti.
"Yang perlu menjadi catatan bahwa untuk membuktikan perkara ini, penuntut umum tidak mengejar pengakuan terdakwa tetapi lebih mengacu pada alat bukti yang telah terungkap di persidangan," ujarnya.
Wawan berkeyakinan bahwa proses persidangan akan membuka perkara tersebut dengan terang benderang dan mengungkap kebenaran dalam perkara tersebut.
"Penuntut umum menyakini kebohongan di masa saat ini adalah hutang kebenaran di masa akan datang," kata Wawan.
Untuk diketahui, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hari ini menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin.
Jaksa KPK Rio Vernika Putra mengungkapkan surat tuntutan KPK terhadap Hasto mencapai 1.300 halaman.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019–2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017—2022 Wahyu Setiawan.
Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019—2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jaksa KPK: Tuntutan adalah pembelajaran agar tidak ulangi kesalahan