Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar meminta aparat penegak hukum untuk berani menindak tegas praktik mafia tanah di Indonesia mengingat tindakan pemberantasan itu diperlukan, karena mafia tanah sudah meresahkan dan merugikan rakyat kecil.
"Perlu perhatian khusus dari penegak hukum, mafia tanah harus diamankan karena meresahkan. Biasanya orang seperti ini banyak membeli tanah penduduk, tetapi tidak melunasi pembayarannya," kata Abdul Fickar Hadjar dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Ia meminta agar Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri tidak ragu menindak pihak-pihak yang terlibat jika memang sudah berkecukupan alat bukti. Apalagi, jika kasusnya merugikan banyak pihak.
"Jika sudah cukup bukti, maka kewajiban penegak hukum menetapkan dan mengumumkannya, apalagi ini bukan delik aduan, penyerobotan tanah dan pemalsuan dokumen itu delik umum. Artinya, meskipun hanya dokumen seseorang yang diserobot dan dipalsukan, tetap pada dasarnya kepentingan umumlah yang dilanggar," ucapnya.
Fickar juga mendesak kepada aparat penegak hukum lainnya agar menindak tegas para mafia tanah tanpa harus menunggu desakan publik. Apalagi, jika aparat penegak hukum sudah mengantongi bukti yang cukup.
"Seharusnya penegak hukum bekerja dengan benar menanggapi laporan rakyat yang sudah banyak menjadi korban dan memproses pihak yang dilaporkan, bukti-bukti keterangan saksi sudah cukup untuk memproses perkara itu sampai ke pengadilan," ujarnya.
Abdul Fickar mengakui sulitnya memberantas mafia tanah di Indonesia. Oleh karena itu, kata dia, perlu ketegasan Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot para pejabat yang ketahuan terlibat 'main' dengan mafia tanah.
"Itulah sulitnya, karena memang yang disebut mafia-mafia itu semua pihak termasuk di dalamnya aparatur. Mestinya, Presiden tegas memberhentikan pejabat yang 'main-main' seperti ini," kata dia.
Terdapat sejumlah kasus tanah yang muncul belakangan ini, diantaranya kasus dugaan penggelapan aset Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di Cilandak, Jakarta Selatan seluas 2.300 meter. Kasus tersebut saat ini sudah dilaporkan ke kejaksaan.
Selanjutnya, kasus sengketa rumah dan tanah seluas 639 meter persegi milik mantan perwira Kopassus di Menteng, Jakarta Pusat.
Selain itu, sengketa tanah seluas kurang lebih 6 hektare di Ungasan, Kuta Selatan, Badung, Provinsi Bali. Tanah tersebut kemudian beralih menjadi milik perusahaan dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Berikutnya, kasus tanah dan bangunan di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sendiri juga berkomitmen untuk memberantas mafia tanah, salah satunya bersinergi dengan Polri.
"Karena jajaran kepolisian ini pasukannya lengkap, punya dimensi hukum, punya dimensi pengamanan. Kami butuh dua-duanya, yaitu butuh hukum dan butuh pengamanannya," kata Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid beberapa waktu lalu.
Dengan adanya bantuan keamanan dari Polri, Nusron mengharapkan masyarakat bisa mendapatkan kepastian tentang hak-hak perdata pertanahan.
Nusron juga mengungkapkan bahwa para mafia tanah dalam praktiknya kerap melibatkan tiga komponen atau elemen, yaitu kemungkinan melibatkan oknum orang dalam, pemborong tanah yang ikut ambil kepentingan di dalamnya, dan adanya pihak ketiga yang menjadi pendukung dari praktik mafia tanah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar: Tindakan tegas aparat diperlukan untuk berantas mafia tanah
