Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Menteri ESDM Satya Hangga Yudha Widya Putra mengatakan sektor hulu migas Indonesia dikelola secara ketat sesuai prinsip konstitusional dengan mengutamakan penguasaan negara atas sumber daya alam sesuai Pasal 33 UUD 1945, sehingga prinsip ini menjadi dasar operasional bagi kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) yang berlaku di Indonesia.
Dalam keterangannya yang diperoleh di Jakarta, Kamis, Hangga menjelaskan bisnis gas di Indonesia didasarkan pada empat premis fundamental yakni gas adalah komoditas publik (dikuasai negara), komoditas privat (dikelola entitas bisnis), komoditas sosial (menyangkut hajat hidup orang banyak), dan memiliki dimensi internasional yang terintegrasi erat.
"Gas tetap menjadi energi yang kritis dalam transisi energi dan stabilitas hukum serta komersial yang sangat penting untuk menjamin pertumbuhan pasar," ujar Hangga saat berbicara dalam forum gas internasional, yang digelar di Corporate Institute of PAO Gazprom, Saint Petersburg, Federasi Rusia, Rabu (15/10/2025).
Prinsip-prinsip kunci yang mendasari perjanjian PSC meliputi bahwa sumber daya alam dikuasai negara, dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai badan pelaksana yang memiliki wewenang penuh untuk mengatur sektor hulu.
Kontraktor diwajibkan memiliki kompetensi finansial, teknis, dan profesional, serta wewenang pertambangan dipegang oleh Pemerintah Indonesia, yang berkewajiban membuat kegiatan pertambangan berjalan efektif dan efisien.
"Pihak dalam PSC adalah SKK Migas dan kontraktor, yang mana kesepakatan didasarkan pada mutual agreement," jelasnya.
Hangga melanjutkan peraturan juga menetapkan bahwa kontrol manajemen operasional berada pada badan pelaksana, sementara modal dan risiko ditanggung oleh kontraktor.
Tata kelola gas yang lebih luas diatur dalam Pentagon Gas Ecosystem yang melibatkan regulator, produsen (fokus komersial), pembeli (fokus ketersediaan dan keterjangkauan), Infrastruktur (mode transportasi), dan badan pengatur.
Kerangka hukum gas diatur oleh UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, serta berbagai PP dan peraturan menteri.
Hangga menambahkan dalam skema cost recovery, pengeluaran operasional yang dapat dikembalikan harus memenuhi persyaratan ketat dan praktik teknik yang baik.
"Ada kesalahpahaman tentang cost recovery. Pada dasarnya, ini adalah penggantian biaya yang dikeluarkan setelah produksi, bukan pembayaran langsung dari keuangan negara," jelasnya.
Untuk memitigasi isu tersebut dan menyederhanakan birokrasi, Indonesia memperkenalkan skema gross split.
Tujuan utama dari skema ini adalah mendorong upaya eksplorasi dan eksploitasi yang lebih efektif dan cepat.
Sebagai prinsip umum, dalam skema gross split, semua barang dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas menjadi aset milik negara, yang diawasi SKK Migas.
Meskipun pengadaan barang dilakukan secara independen oleh kontraktor, mereka diwajibkan memprioritaskan penggunaan pekerja, barang, dan teknologi dari dalam negeri (TKDN).
Hangga juga mengatakan Pemerintah Indonesia menggunakan mekanisme kontrol yang berbeda atas komoditas.
Minyak mentah dan gas alam diklasifikasikan sebagai komoditas strategis yang tunduk pada tingkat kontrol tinggi seperti harga dan kuantitas teregulasi, berbeda dengan komoditas publik lainnya.
"Strategi ini penting untuk menjaga kedaulatan energi di tengah dinamika geopolitik," ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sektor hulu migas RI dikelola secara ketat oleh prinsip konstitusional
