Ambon (ANTARA) -
Penangkapan seorang calon tersangka oleh aparat penegak supremasi hukum seperti polisi, jaksa, maupun KPK minimal harus didasari dua alat bukti sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KHUP).
"Dalam kasus OTT KPK terhadap Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun misalnya, KPK tidak bisa menggunakan sebuah informasi awal sebagai alat bukti guna melakukan penangkapan," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Maluku, Hendrik Lusikoy, MH di Ambon, Kamis.
Menurut dia, bila lembaga ini menggunakan sebuah informasi awal untuk menahan seseorang, maka itu berarti kewenangan KPK semakin besar di satu sisi, tetapi di sisi lainnya adalah tidak sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP.
Pasal ini secara tegas menyatakan ada lima alat bukti yang perlu dijadikan dasar penahanan seseorang antara lain keterangan tersangka, keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, serta petunjuk.
Pertanyaannya, informasi atau dugaan itu masuk alat bukti yang mana dalam ketentuan KUHAP sehingga seseorang bisa langsung ditangkap, lain halnya kalau ada laporan masyarakat tentunya dilakukan penangkapan.
"Dalam pernyataan juru bicara KPK di media juga mengatakan tidak ada laporan atau penyadapan tetapi penangkapan Gubernur Kepri didasarkan informasi," ujar Hendrik.
Sehingga OTT ini menggambarkan kewenangan KPK semakin luas dan bisa menangkap seseorang hanya berdasarkan sebuah informasi.
Gubernur Kepri Nurdin Basirun beserta lima orang lainnya di Kepri, Rabu (10/7) malam karena ada dugaan terjadi transaksi terlarang terkait perizinan untuk proyek reklamasi.
Transaksi tersebut diduga berkaitan dengan pengurusan izin lokasi rencana reklamasi di Kepulauan Riau dan KPK mengamankan uang sebesar 6.000 dollar Singapura.
Selain gubernur, ada lima orang lainnya seperti Kepala Dinas yang mengurus bidang kelautan, Kepala Bidang, ASN, dan pihak swasta yang terjaring OTT KPK.
Penangkapan calon tersangka minimal didasari dua alat bukti
Kamis, 11 Juli 2019 18:21 WIB