Jakarta (ANTARA) - Seorang dokter spesialis paru mengemukakan metode deteksi COVID-19 dengan polymerase chain reaction (PCR) maupun rapid test tetap dibutuhkan karena dianggap saling melengkapi dalam menangani pandemi virus corona.

Ketua Pengurus Harian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2017-2020 Dr dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FAPSR, FIS, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat mengatakan pengambilan spesimen lendir menggunakan metode swab dan pemeriksaan menggunakan PCR adalah metode dalam mendeteksi virus SARS-COV2.

“Pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih rumit. Selain itu, pemeriksaan sampel hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan kelengkapan khusus. Oleh karena itu, butuh waktu beberapa hari hingga hasil tes bisa keluar,” katanya.

Lamanya hasil tes swab, ujar dia, memang terjadi secara umum di Indonesia. “Kira-kira membutuhkan waktu dua sampai tiga hari," katanya.

Ia menjelaskan, lamanya hasil tes swab karena laboratorium pemeriksa sampel lendir dari hidung seseorang itu jumlahnya terbatas. Bahkan, hanya ada di rumah-rumah sakit milik pemerintah.

"Sementara, sampel yang harus diperiksa bisa ribuan jumlahnya," ujarnya.

Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur, itu mengatakan, selain PCR ada pula rapid test yang hasilnya diketahui sekitar dua sampai tiga jam.

Rapid test yang mengandalkan tes antibodi dengan mengambil sampel darah seseorang, hanya menunjukkan respons individu melalui antibodinya terhadap virus yang masuk dalam ke tubuh.

Dia menjelaskan, hasil dari rapid test adalah reaktif dan non-reaktif. Lebih lanjut, ia menerangkan reaktif berarti antibodi sudah muncul di dalam tubuh lantaran virus yang sudah masuk. Sementara itu, non-reaktif artinya antibodi belum muncul.

Ia mengatakan metode yang paling ideal, yakni tes cepat berbasis real time-polymerase chain reaction (RT-PCR).

Faktanya, metode yang banyak dipakai saat ini adalah rapid test menggunakan sampel darah.

Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapat informasi yang tepat, termasuk bagaimana akurasi alat rapid test yang digunakan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena mengatakan kedua metode tersebut masih dapat diterapkan dalam menangani COVID-19.

Orang yang merasa memiliki indikasi COVID-19 sebaiknya menjalani rapid test. Jika hasilnya reaktif, orang tersebut perlu mengonfirmasi dengan menjalani PCR.

“Keduanya saling melengkapi dan dibutuhkan. Jangan saling dibenturkan,” kata politisi Partai Golkar itu.

Menurut dia, ditemukannya kasus alat rapid test dengan tingkat akurasi rendah memang membutuhkan evaluasi.

Meskipun demikian, menurut dia, kasus itu tidak untuk meniadakan metode rapid test ditambah lagi WHO telah merekomendasikan sejumlah rapid test kit maupun PCR.

Mengutip drugtestsinbulk.com, WHO telah menguji sejumlah rapid tes kit yang diproduksi berbagai negara sebagaimana ada tiga produk yang memiliki tingkat akurasi sekitar 80 persen hingga 90 persen.

Hasil uji rapid test dari Tiongkok dan Amerika Serikat menyatakan InTec dengan tingkat akurasi 84,605 persen, Cellex dengan tingkat akurasi 86,555 persen, dan Healgen/Orient Gene dengan tingkat akurasi 91,665 persen.

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020