Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 mampu memberi dampak baik terhadap lingkungan, termasuk peningkatan kualitas udara, antara lain penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga setiap warga harus mempertahankan berbagai perilaku positif yang dilakukan saat wabah berlangsung.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah di Jakarta, Sabtu, menyatakan perbaikan lingkungan tersebut bersifat sementara dan ada kemungkinan terjadi rebound atau kembali ke keadaan semula.

"Oleh karena itu semua elemen harus mempertahankan berbagai perilaku bagus yang dilakukan saat pandemi. Pertanyaannya, bagaimana setelah COVID-19? Kita berharap model perilaku yang sudah berubah, sudah bagus, tetap dipertahankan," katanya melalui keterangan tertulis.

Perilaku positif selama pandemi yang harus dipertahankan tersebut tidak cukup hanya dengan penyediaan sarana sanitasi cuci tangan, namun harus lebih jauh dan lebih besar lagi.

Baca juga: Kualitas udara Jakarta membaik saat Idul Fitri

Baca juga: Kiat tingkatkan kualitas udara di rumah selama pandemi corona


Di antara kebiasaan yang harus dipertahankan tersebut, kata Karliansyah, adalah dengan menjaga bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, memperbaiki manajemen lalu lintas, pengembangan sistem transportasi massal dan pengembangan hutan kota.

"Jadi tidak hanya dengan memakai masker dan menjaga jarak. Pola tersebut tetap kita lakukan, tetapi kita juga melihat dari aspek yang lebih luas. WFH (work from home/kerja dari rumah) ini perlu diadopsi, gaya hidup bersih, tenggang rasa perlu kita lanjutkan," katanya.

Perbaikan kualitas udara tersebut, kata dia, bisa dilihat pada Stasiun Pemantauan Udara KLHK. Tercatat bahwa terjadi penurunan konsentrasi partikulat ukuran 2,5 mikron (PM 2,5) sebesar 45 persen di Gelora Bung Karno, hal yang sama juga terjadi di Pekanbaru.

Kondisi demikian juga terjadi di luar negeri, seperti Citra satelit di Cina, misalnya, menunjukkan penurunan konsentrasi gas Nitrogen Dioksida (NO2) yang signifikan sepekan setelah pemberlakuan lockdown.

Dua pekan setelah lockdown, konsentrasi NO2 rendah, namun dampak ini bersifat sementara karena pada pertengahan Maret konsentrasinya meningkat kembali, meski masih di bawah konsentrasi sebelum lockdown.

"Kondisi serupa juga terjadi di Eropa, dimana konsentrasi NO2 menurun sangat drastis, terutama di Jerman, Perancis, Spanyol, dan Italia," ujarnya.

Karliansyah menambahkan tidak hanya udara, Pandemi COVID-19 juga meningkatkan kualitas air sungai yang mana pemantauan kualitas air sungai pada Stasiun Monitoring KLHK menunjukkan Konsentrasi Zat Pencemar Organik (BOD dan COD) mengalami penurunan di Sungai Brantas dan Konsentrasi Amoniak di Sungai Ciliwung.

"Sungai-sungai di Indonesia cenderung mengalami perbaikan kualitas air, sebagaimana juga terjadi di beberapa sungai lainnya di dunia seperti Sungai di Wuhan dan Venesia," katanya.*

Baca juga: Perpanjang "physical distancing" bisa perbaiki kualitas udara Jakarta

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020