Jakarta (ANTARA) - Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Dr Emrus Sihombing menyarankan pemerintah untuk membenahi manajemen komunikasi seiring penyiapan menuju normal baru (new normal).

"Setidaknya ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yakni penanganan kesehatan, penegakan hukum, dan tindakan komunikasi," katanya, di Jakarta, Selasa.

Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara diskusi virtual bertajuk "Efektifkah Penerapan New Normal di Masa Pandemi Corona".

Emrus menekankan bahwa ketiga unsur tersebut harus dilakukan secara bersama-sama sehingga hasilnya efektif, termasuk komunikasi yang harus dihadapi dengan manajemen komunikasi.

Ia mencontohkan kasus penolakan "rapid test" hingga penjemputan paksa jenazah pasien COVID-19 yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini, seperti di Surabaya dan Makassar.

"Tindakan menolak 'rapid test', bahkan ada yang menjemput paksa pasien COVID-19. Ini karena kesadaran masyarakat terhadap virus belum tinggi. Bisa jadi termakan hoaks. Ini kan persoalan komunikasi," katanya.

Namun, Direktur Eksekutif Emrus Corner itu mengakui bahwa selama ini manajemen komunikasi politik pemerintah belum baik, baik pemerintah ke masyarakat, pusat ke daerah, termasuk sesama menteri.

"Makanya, komunikasi pemerintah, mulai daerah hingga pusat harus profesional. Pendekatan-pendekatan komunitas cukup efektif, perlu di-'manage' baik," kata Emrus.

Baca juga: Polda Jatim siagakan 1.600 personel di masa transisi di Surabaya

Pakar hukum Prof Gayus Lumbuun menyoroti dari perspektif hukum mengenai kesiapan menuju penerapan normal baru perlu mempertimbangkan banyak hal.

Protokol yang sekarang menjadi istilah populer, kata dia, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti panduan, aturan, hingga kesepakatan.

"Bagaimana struktur hukum menjamin pelaksanaan aturan protokol? Harus aturan yang betul-betul terukur yang digunakan," kata mantan Hakim Agung tersebut.

Struktur hukum pelaksana, kata dia, bisa diterapkan dengan baik kalau masyarakat bisa mengikuti sehingga dampak-dampak aturan tersebut harus dipikirkan.

Sementara itu, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio mengatakan daerah-daerah yang bersiap menuju "new normal" harus memiliki kondisi yang bagus dengan data-data terkini secara "realtime".

Menurut dia, penerapan normal baru harus melihat kondisi setiap daerah yang berbeda, sebab bisa Jakarta lebih bagus kondisinya dibanding daerah-daerah yang lainnya.

"Intinya, kita harus tetap aman dulu, seraya berupaya tetap produktif. Jangan dibalik. Protokol kesehatan harus dipenuhi, hindari perjalanan yang tidak perlu, dan hindari kerumunan," katanya.

Baca juga: Mentan paparkan strategi ketersediaan pangan saat normal baru

Baca juga: Gubernur DIY minta SOP normal baru diuji publik sebelum jadi pergub

Baca juga: Sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta siap dibuka sambut normal baru

Baca juga: Mendes PDTT nilai desa sebagai garda terdepan penerapan normal baru

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020