Jakarta (ANTARA) - Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyebutkan maraknya kasus pencurian ikan atau "illegal fishing" oleh nelayan asing menyebabkan potensi sumber daya alam di laut Natuna Utara terancam tak bisa dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia.

Kepala Bakamla Laksdya TNI Aan Kurnia, di kantornya, Markas Besar Bakamla RI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, mengatakan, selain karena Unreported and Unregulated (IUU) Fishing oleh kapal-kapal ikan asing China dan Vietnam, juga karena tidak dapat hadirnya kapal ikan Indonesia sendiri di wilayah tersebut.

"Kapal ikan Indonesia yang berasal dari Natuna tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk melakukan eksploitasi perikanan di LNU, karena rata-rata kapal ikan lokal dari Natuna berukuran kecil sekitar 5-10 GT dan menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat nelayan setempat," kata Aan dalam keterangan tertulisnya, saat menyoroti permasalahan yang terjadi di Laut Natuna Utara akhir-akhir ini.

Baca juga: KKP dorong sinergi atasi kasus pencurian ikan di tengah pandemi
Baca juga: Menteri Edhy pastikan perkuat Satgas Pemberantasan Pencurian Ikan


Kondisi ini juga, menurut Kepala Bakamla RI, diperumit dengan permasalahan batas di Laut Natuna Utara yang masih belum selesai dengan Vietnam.

"Indonesia dan Vietnam saat ini sedang menyelesaikan persoalan 'overlapping claim' ZEE di Laut Natuna Utara," kata Aan.

Dalam kondisi ini, kata dia, seharusnya kedua pihak menahan diri dengan tidak melakukan kegiatan apapun. Tetapi pada kenyataannya, saat ini kapal pemerintah Vietnam yaitu kapal pengawas perikanan dan kapal coast guardnya selalu hadir bersama dengan kapal ikan Vietnam di wilayah tersebut.

Kemampuan hadir 24 jam ini belum mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum Indonesia baik oleh TNI AL, KKP dan Bakamla RI yang memiliki kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi nasional di ZEEI.

"Ini tentu berdampak pada turunnya daya gentar (deterrence effect) penegakan hukum di Laut Natuna Utara sehingga berpotensi meningkatkan IUU Fishing oleh kapal-kapal ikan asing vietnam dan bahkan kapal ikan China," jelas Aan.

Oleh karena itu, lanjut dia, Indonesia mengambil peran sentral dalam mendorong agar IUUF dapat ditetapkan sebagai kejahatan transnasional mengingat dampak luas yang ditimbulkan.

"Demikian juga dalam konteks regional khususnya permasalahan di Laut China Selatan, Indonesia menjadi salah satu pelopor 'declaration of conduct' dan secara tegas mendukung keputusan 'Permanent Court of Arbitration' sebagaimana ditegaskan kembali oleh 'permanent mission' Indonesia untuk PBB dalam surat yang disampaikan pada tanggal 26 Mei 2020," ungkapnya.

Baca juga: Menteri Edhy tingkatkan kesejahteraan awak kapal pengawas KKP

Dalam konteks keamanan maritim yang luas, tambah Aan, Indonesia terus mendorong kesepakatan bersama dan kesepahaman dalam cara pandang terhadap domain keamanan maritim.

"Indonesia senantiasa mendorong langkah dan upaya untuk turut menciptakan keamanan maritim yang kondusif sehingga dapat mendukung aktivitas perekonomian nasional, regional dan bahkan global," katanya.

Menurut dia, permasalahan di Laut China Selatan atau Laut Natuna Utara memiliki potensi konflik dengan Indonesia, bukan dalam konteks batas wilayah teritorial tetapi dalam konteks wilayah yurisdiksi pengelolaan sumber daya alam.

"Oleh karena itu solusinya perlu strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan indonesia di natuna, dan perlu strategi dan kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol negara berupa aparat penegak hukum di laut Natuna Utara,' demikian Kepala Bakamla RI Laksdya TNI Aan Kurnia.


Baca juga: KKP lumpuhkan kapal ikan ilegal asal Filipina dan Taiwan
Baca juga: Pencurian ikan makin marak saat pandemi COVID-19

 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020