Surabaya (ANTARA News) - Sejumlah kiai sepuh Jawa Timur sepakat menolak faham liberalisme dan karena itu mereka akan mencegah terpilihnya kandidat Ketua Umum PBNU yang proliberal dalam Muktamar ke-32 Nahdlatul ULama di Makassar, 22-27 Maret.

"Tujuan berdirinya NU itu salah satunya untuk membendung faham liberalisme, ekstrimisme dan fundamentalisme. Karena itu para kiai di Jatim sepakat membendung faham itu," kata Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Senin.

Meski demikian, kata pengasuh Pesantren Mifatchussunnah Kedungtarukan itu, para kyai tidak akan melarang kandidat Ketua Umum PBNU berfaham liberal maju bertarung di Muktamar ke-32 itu.

"NU itu tetap demokratis dan kami akan mengikuti mekanisme organisasi. Membendung bukan berarti dengan menerobos mekanisme organisasi. Yang pasti, para kiai akan menggalang kekuatan untuk membendung kekuatan liberalisme, ekstrimisme, dan fundamentalisme pada muktamar nanti," katanya.

Hingga kini, tujuh kandidat Ketua Umum PBNU mencuat ke permukaan yakni KH Said Agil Siradj (ketua), KH Ir Solahudin Wahid (Gus Solah/mantan ketua), Prof KH Ali Maschan Moesa MSi (mantan Ketua PWNU Jatim), Masdar F. Mas`udi (ketua), Achmad Bagdja (ketua), Slamet Effendy Yusuf, dan Ulil Abshar Abdalla (aktivis Jaringan Islam Liberal/JIL).

Kiai Miftah juga menyesalkan tim sukses kandidat yang menyerang kepengurusan PBNU saat ini dengan tuduhan gagal, karena cara-cara seperti itu tidak beradab dan menyalahi pakem NU.

"Cara-cara seperti itu sama halnya dengan menghancurkan rumah sendiri dan bunuh diri, padahal dia juga masuk kepengurusan PBNU yang sekarang. Kalau tidak cocok semestinya `kan ada mekanisme tabayyun (klarifikasi)," katanya.

Menurut dia, menggalang dukungan adalah wajar dan sah, namun ia amat menyesalkan jika caranya dengan menjelek-jelekkan orang lain, apalagi dieskpos lewat media massa secara luas.

"Itu ironis karena menyerang saudara sendiri. Itu `kan sudah menyimpang dari semangat NU itu sendiri," katanya.

Dia mengungkapkan para kandidat ketua PBNU itu memiliki kualifikasi beragam, mulai dari kualifikasi mumpuni dalam bidang organisasi, akademis, keilmuan agama, hingga calon yang sekadar berbekal kualifikasi pas-pasan.

"Yang terpenting adalah nawaitu (niat) yang harus ditata untuk berkhidmat (mengabdi) kepada NU, bukan ber-istikhdam (minta dilayani atau hanya memperalat NU). Saya melihat ada yang nawaitu seperti itu," katanya.

Pandangan seperti itu merujuk pada kepentingan politik praktis yang mewarnai muktamar, karena ada kandidat yang melarang pengurus NU berpolitik praktis sama sekali, ada kandidat yang membolehkan pengurus NU berpolitik praktis atas nama individu untuk kepentingan NU, dan ada pula yang membolehkan pengurus NU berpolitik praktis atas nama individu untuk kepentingan individu.(*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010