Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menjelaskan penghapusan Pasal 22 dari UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dalam revisi UU tersebut karena jabatan hakim konstitusi adalah puncak pengabdian bagi seseorang sehingga masa jabatannya sampai waktu pensiun.

Oleh karena itu, menurut dia, seorang hakim konstitusi tidak lagi memikirkan capaian apa yang hendak diraih setelah selesai bertugas, dan tidak berpikir ingin menjadi pejabat tertentu karena sudah selesai dengan urusan karier dan politik.

"Menghilangkan Pasal 22 dalam revisi UU MK sehingga masa jabatan hakim konstitusi hingga 70 tahun, ada dasar pemikirannya bukan barter politik," kata Taufik Basari dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema "RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?" di kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa.

Baca juga: Anggota DPR bantah revisi UU MK sebagai barter politik

Dalam Pasal 22 UU MK disebutkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Dalam revisi UU MK, Pasal 22 dihapus, dan ketentuan masa jabatan hakim konstitusi hingga umur 70 tahun diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) c dalam revisi tersebut.

Taufik mengatakan bahwa konsep masa jabatan hakim konstitusi hingga pensiun itu juga sama dengan yang berlaku di Mahkamah Agung, yang sama-sama menurut konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman.

Dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 dinyatakan bahwa ketentuan mengenai syarat usia minimum hakim konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 15 Ayat (2) Huruf d adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

Selanjutnya, dalam Putusan MK nNmor 7/PUU-XI/2013, amar putusannya menyatakan Pasal 15 Ayat (2) Huruf d inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan pertama".

Menurut dia, dalam pertimbangan hukumnya terdapat alasan bahwa meskipun merupakan kebijakan hukum terbuka, jika tidak dapat dilaksanakan, menimbulkan kerugian konstitusionalitas warga negara.

Baca juga: Mantan hakim MK nilai revisi UU MK barter politik

Ia menjelaskan alasan tidak dapat dilaksanakan tersebut dikaitkan dengan keberadaan Pasal 22 yang mengatur masa jabatan hakim selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Namun, di sisi lain terdapat Pasal 23 Ayat (1) Huruf c yang mengatur batas usia hakim konstitusi 70 tahun.

"Karena pilihan kebijakan yang diambil adalah menjadikan masa jabatan hakim konstitusi adalah hingga memasuki masa pensiun 70 tahun, usia minimum calon hakim konstitusi harus menyesuaikan," katanya.

Menurut Taufik Basari, awalnya dalam draf RUU MK usulan usia calon hakim konstitusi adalah 60 tahun. Namun, pemerintah mengajukan usul 55 tahun dengan alasan menyesuaikan pengalaman calon hakim konstitusi dan jenjang karier bagi calon yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, kata dia, setelah pembahasan dengan mengkaji berbagi pertimbangan, akhirnya disetujui minimal usia calon hakim konstitusi adalah 55 tahun.

Dalam revisi UU MK, Pasal 22 terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya, dihapus dalam revisi tersebut.

Sementara itu, Pasal 23 Ayat (1) c diubah yaitu masa jabatan hakim konstitusi diatur maksimal 70 tahun.

Baca juga: Yasonna: UU MK jadi dasar yuridis tetapkan syarat Hakim Konstitusi

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020