Jakarta (ANTARA) -
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengajak generasi muda untuk membangun benteng ideologi bangsa untuk menghadapi kondisi yang berkembang saat ini.
 
Dalam menghadapi kondisi yang berkembang saat ini, kata dia, di Jakarta, Rabu, kesadaran atas keberagaman yang kita miliki akan menjadi kekuatan besar apabila didukung SDM Indonesia yang berkualitas.
 
Kekuatan itu ditambah jika sumber daya manusianya juga berdaya saing untuk memperoleh manfaat positif dari globalisasi.
 
"Saya mengajak generasi muda bangsa, khususnya para kader PMKRI, untuk menjawab berbagai tantangan dan ancaman kebangsaan tersebut dengan membangun benteng ideologi bangsa," kata dia, dalam Rakornas Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.
 
Ia melanjutkan, kader-kader PMKRI adalah duta bangsa yang sangat potensial untuk menyebarluaskan narasi-narasi kebangsaan. "Membangun semangat nasionalisme, dan membangun pribadi-pribadi yang berkarakter Pancasila," ucap dia.

Baca juga: Bamsoet: Perhatikan kekhawatiran orang tua siswa soal KBM tatap muka
 
Ia menerangkan soal pentingnya merawat kebangsaan atau membangun benteng ideologi bangsa salah satunya agar rakyat tidak termakan hoaks yang memecah belah.
 
Menurut dia, lahirnya konflik sosial atau konflik horizontal di masyarakat lebih sering terjadi karena dipicu kesalahpahaman.
 
Misalnya pada Januari 2018, sekelompok orang dari suatu organisasi masyarakat keagamaan melakukan penyerangan dan pembakaran markas ormas lain di Bogor, karena dipicu kabar bohong (hoaks) di media sosial tentang penusukan salah satu anggota ormas keagamaan itu.
 
"Pada September 2019, munculnya hoaks tentang isu seorang guru mengeluarkan kata rasis di Wamena, telah memprovokasi para pelajar dan masyarakat melakukan unjuk rasa dan pembakaran beberapa kantor pemerintah, ruko-ruko milik masyarakat dan beberapa kendaraan bermotor," katanya.

Baca juga: MPR dorong Kemenkes beri kepastian vaksin COVID-19
 
Contoh lain yang sering kita dengar atau saksikan, kata dia, adalah pada saat penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada dimana kontestasi politik telah bergeser menjadi konflik antar pendukung calon.
 
Ia menjelaskan dalam kasus Pilkada misalnya, kabar hoaks cenderung dibuat untuk mendelegitimasikan lawan politik, yang secara alamiah akan memicu lahirnya berita-berita hoaks tandingan dari lawan politik.
 
Ketika titik kulminasi telah mencapai klimaksnya, masyarakat khususnya pendukung masing-masing kubu yang telah terpolarisasi pada dua kutub berseberangan akan sangat mudah terjebak pada pecahnya konflik sosial.
 
"Di era kemajuan teknologi informasi yang berkembang dengan sedemikian pesat, arus informasi begitu deras menjejali ruang publik melalui berbagai pijakan digital. Dalam konteks ini, masyarakat perlu memahami mengenai berbagai jenis informasi yang tidak benar, agar lebih bijaksana dalam menyikapi," kata dia.
 
Ketua ke-20 DPR ini menerangkan berbagai jenis informasi yang tidak benar tersebut dapat berupa mis-informasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat, karena ketidaktahuan.

Baca juga: Pimpinan daerah diingatkan patuhi instruksi Mendagri terkait COVID-19
 
Kemudian, disinformasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat dan bersifat destruktif secara sengaja, serta malinformasi atau penyebaran informasi faktual, tetapi untuk tujuan tidak baik, misalnya untuk menghasut atau memprovokasi.
 
Lebih memprihatinkan menurutnya dalam masa-masa sulit menghadapi pandemi Covid-19, masih ada saja oknum tidak bertanggung jawab yang menyebarkan hoaks sehingga menimbulkan kecemasan masyarakat.
 
WHO pun, kata dia, memunculkan istilah baru, yaitu infodemi untuk menggambarkan maraknya berita hoaks terkait pandemi Covid-19.
 
Tentunya, kondisi ini akan merugikan segenap pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, tenaga medis, dan khususnya masyarakat sendiri. "Di Indonesia jumlahnya tidak sedikit. Menurut Kementerian Kominfo, hingga 20 Oktober 2020, tercatat ada 2.020 konten hoaks yang beredar di media sosial," kata dia.

Baca juga: Bamsoet: Vaksinasi mandiri COVID-19 harus terjangkau masyarakat
 
Ia menekankan persoalan mengatasi beredarnya hoaks yang dapat memecah belah masyarakat hanyalah satu bagian dari beragam tantangan dalam merawat kebangsaan.
 
Tantangan kebangsaan lainnya juga hadir dalam bentuk demoralisasi generasi muda bangsa, memudarnya identitas dan karakteristik bangsa, berkembangnya sikap intoleransi dalam kehidupan beragama, serta tumbuhnya radikalisme dan terorisme.
 
"Globalisasi juga telah membawa nilai-nilai asing yang diasumsikan sebagai representasi dari modernitas zaman. Lambat laun dapat menggeser nilai-nilai kearifan lokal, adab sopan santun, tradisi dan seni budaya, dan segenap nilai-nilai ke-Indonesia-an," ujar dia.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020