Jakarta (ANTARA) - Djoko Tjandra mengatakan rekannya bernama Tommy Sumardi adalah besan dari mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.

"Kita tadinya sudah janjian, saya tanya ke Pak Tommy 'kapan ke KL (Kuala Lumpur) karena tahu Pak Tommy ini besan ex PM Datuk Sri Najib, jadi saya gantian yang mengundang," kata Djoko Tjandra di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Djoko Tjandra menjadi saksi untuk rekannya, pengusaha bernama Tommy Sumardi yang didakwa menjadi perantara suap dari Djoko Tjandra kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dan bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo sejumlah 150 ribu dolar AS.

Najib Razak adalah Perdana Menteri Malaysia yang menjabat sejak 3 April 2009 hingga 10 Mei 2018

Najib Razak tersandung masalah hukum dan divonis 12 tahun penjara pada Mei 2020. Ia dinyatakan terbukti melakukan tujuh dakwaan yaitu pelanggaran kepercayaan, pencucian uang dan penyalahgunaan kekuasaan terkait skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB).

Baca juga: Djoko Tjandra ke London dan Paris untuk hapus "red notice"
Baca juga: Saksi dijanjikan imbalan karena urus surat terkait Djoko Tjandra


"Saya sudah kenal lama dengan Pak Tommy, sejak 1990-an," ungkap Djoko.

Djoko Tjandra mengaku ingin mengajukan PK atas putusan tahun 2009 yang mengharuskannya menjalani vonis penjara selama 2 tahun.

Sementara berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 2015, pendaftaran PK harus didaftarkan oleh terpidana dan tidak bisa diwakili oleh ahli waris.

"Jadi jalan satu-satu adalah nama saya harus bersih, dengan demikian saya masuk usahanya lewat teman saya namanya Tommy Sumardi yang saya tanya 'by phone'. Saya tanya 'Tom ini masalah DPO saya masih terganjal di sistem, apakah ada upaya untuk bisa mengecek kondisinya bagaimana dan bagaimana bisa dilepaskan?' Karena tujuan saya adalah pulang untuk daftar PK," ungkap Djoko Tjandra.

Padahal menurut Djoko Tjandra, namanya masuk dalam "red notice" Interpol sejak sekitar satu bulan setelah Juni 2009.

Djoko Tjandra lalu sepakat akan membayar Tommy sebesar Rp10 miliar agar dapat menghapus namanya dari "red notice" interpol.

Baca juga: Anita Kolopaking akui seangkatan dengan mantan Ketua MA Hatta Ali
Baca juga: Jaksa ungkap percakapan Anita dan Pinangki terkait "legal fee"


"Dalam pembicaraan itu, saya lupa siapa yang mulai tapi intinya ada omongan 'Djok kalau urus seperti ini ada ongkos-ongkosnya. Obrolan saya dengan Pak Tommy intinya kita bicara mengenai jumlah angkanya. Saya niat untuk urusi masalah itu lalu Pak Tommy bilang 'You siapkan Rp15 miliar tapi saya katakan wah 'Tom berat biaya Rp15 miliar, saya mulai bagaimana kalau Rp5 miliar?, akhirnya kita sepakati angka Rp10 miliar,"

Tommy pun berhasil menjalankan misinya dengan diterimanya surat dari NCB Interpol pada 8 Mei 2020 yang menyatakan bahwa nama Djoko Tjandra tidak ada lagi dalam "red notice" tersebut.

Dalam tanggapannya, Tommy mengaku menyerahkan uang Rp10 miliar itu ke Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.

"Uang Rp10 miliar saya serahkan ke Napoleon, tanggal 27 april saya serahkan 100 ribu dolar AS, 28 April 200 ribu dolar Singapura, 29 April 100 ribu dolar AS, 4 Mei 150 ribu dolar AS, 5 Mei 20 ribu dolar AS, 11 Mei lupa dan 22 Mei sebesar 50 ribu dolar AS ke Prasetijo sisanya," kata Tommy.

Dalam dakwaan disebutkan proses pemberian suap diberikan secara bertahap kepada Napoleon dan Prasetijo oleh Tommy pada April-Mei 2020 yaitu pada 27 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS untuk Prasetijo, pada 28 April 2020 sebesar 200 ribu dolar Singapura untuk Napoleon, pada 29 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 4 Mei 2020 sebesar 150 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 5 Mei 2020 sebesar 20 ribu dolar AS kepada Napoleon, pada 6 Mei 2020 sebesar 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020