Jakarta (ANTARA) - Meski 71 persen bagian bumi adalah air tapi faktanya hanya tersedia 3 persen air tawar bersih dari total air yang ada di muka bumi ini.

Dan fakta lain menunjukkan bahwa ketersediaan air tawar bersih itu hanya sebagian kecil yang tersedia secara efektif untuk dapat digunakan oleh manusia dan ketersediaannya juga bervariasi menurut ruang dan waktu.

Akibatnya sudah bisa ditebak seringkali ketegangan dan perselisihan terkait pembagian dan kendali sumber daya air kemudian menjadi persoalan yang menakutkan di banyak negara lain, misalnya di India.

Pengelolaan air di negara itu sempat menjadi masalah yang diperdebatkan di antara komunitas, wilayah, dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pengkajian, penggunaan yang efisien dan konservasi air menjadi penting untuk memastikan pengelolaan air yang adil dan baik.

Di Indonesia, UUD 1945 mengamanatkan bahwa penguasaan bumi dan air berada di tangan negara sehingga menjadi mandat yang dipegang oleh negara untuk memenuhi hak rakyatnya.

Upaya itu sekaligus untuk memenuhi rasa adil dan menekan kemungkinan penguasaan atau monopoli dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Namun, seiring perkembangannya, pengelolaan air dituntut untuk bisa seimbang antara pemenuhan hak rakyat dan juga kelestarian lingkungan yang melingkupinya.

Di sisi lain ada pula kepentingan bisnis yang mengiringinya sehingga perlu juga untuk menjadi perhatian.

Pelaku bisnis di Indonesia, sudah banyak yang mulai menyadari pentingnya untuk menyeimbangkan dua hal tersebut. Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), misalnya mengatakan kelestarian sumber daya air harus tetap dipertahankan, hak rakyat atas air harus menjadi nomor satu, dan swasta juga harus dipertimbangkan.

Namun, hal itu kemudian diyakininya agar jangan sampai diterjemahkan bahwa swasta itu kalau investasi harus menunggu kalau airnya ada baru bisa jalan. Sebab jelas saja secara ekonomi itu akan berat bagi pelaku usaha. “Ini hanya bisa dilakukan kalau database mengenai sumber daya air di suatu wilayah tersedia,” ucapnya.

Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang mandat negara atas pengelolaan air sudah saatnya memetakan sumber daya air yang tersedia agar bisa menetapkan alokasi.

Kalau tidak, kata Rachmat, cita-cita pemerintah di Undang-Undang Cipta Kerja malah tidak akan tercapai. Menurutnya, pelaku usaha perlu memiliki informasi yang lengkap untuk menentukan investasi bisa jalan atau tidak.

“Karena itu, perlu kita garis bawahi, SDA itu hajat hidup semua makhluk dan semua masyarakat termasuk perusahaan. Perusahaan tidak akan dapat beroperasi tanpa sumber daya air, di sektor industri manapun,” katanya.

Baca juga: PT PP tanda tangani proyek KPBU air bersih di Pekanbaru

Pengelolaan CAT

Pengelolaan sumber daya air pada prinsipnya harus dilakukan dengan langkah-langkah yang baik dan ideal agar terjaga kelestariannya.

Sebagaimana disampaikan Lambok Hutasoit, Pengamat Hidrogeologi ITB, yang menyarankan agar pengelolaan air tanah itu harus dilakukan berdasarkan cekungan air tanah (CAT) tidak wilayah sungai (WS). Karena, menurutnya, wilayah sungai itu tidak jelas batasannya.

“Cekungan air tanah perlu dievaluasi agar tidak ada daerah yang tidak bertuan. Jadi dalam peta cekungan air tanah di Indonesia, itu masih banyak yang tidak ada cekungan air tanahnya, itu sebetulnya tidak tepat. Air tanah itu ada walaupun kecil. Jadi kami mengusulkan semuanya dipetakan lagi, diklasifikasikan seperti itu,” tuturnya.

Untuk itu, ke depan diperlukan sebuah regulasi yang mendukung untuk memungkinkan hal tersebut terwujud.

Ahli Hidrologi IPB, Nana Mulyana, lebih fokus untuk menyarankan agar masalah DAS (daerah aliran sungai), CAT, dan Wilayah Sungai, di Indonesia harus diperjelas dalam sebuah regulasi misalnya saja RPP SDA. Menurutnya, CAT untuk air tanah itu berbeda sekali dengan DAS.

Namun, justru yang terpenting adalah neraca airnya yang harus nanti diperhatikan sebab neraca air di Indonesia cenderung berbeda-beda dimana ada supply dan demand.

Di sisi lain untuk menjaga kelestarian air bersih,
Dosen Teknik Geologi UGM, Heru Hendrayana, sempat menyampaikan pula agar jangan sampai sumber daya air atau air itu beralih menjadi barang yang strategis. Kalau itu dilakukan maka ini akan menjadi suatu hal yang berbahaya.

“Karenanya keseimbangan itu harus terjaga. Selama keseimbangan itu terjaga, maka kita tidak akan mengarah ke arah yang strategis,” katanya.

Baca juga: Suplai air bersih belum normal pascabanjir di Aceh Timur

Menyusun kebijakan

Untuk mewujudkan pengelolaan air yang seimbang antara pemenuhan hak rakyat dan kelestarian lingkungan Tim Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian sudah meng-upload flyer RPP NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria) Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Bidang Sumber Daya Air (SDA) di situs resmi uu-ciptakerja.go.id.

Di dalamnya disebutkan bahwa perizinan berusaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Sedang untuk proses izinnya sendiri itu harus bisa diselesaikan dalam waktu 7 hari kerja, yang terdiri dari Rekomtek (rekomendasi teknik) 3 hari dan proses perizinan berusahanya 4 hari.

Jika semua persyaratan pengajuan perizinan berusaha ini sudah lengkap, itu harus keluar rekomteknya dalam tiga hari kerja setelah data tersebut diterima. Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali mengatakan bahwa pihaknya sedang terus meminta masukan kepada seluruh elemen masyarakat dalam penyusunan RPP NSPK Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Bidang SDA.

Pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan usulan dalam penyusunan peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja setelah diundangkan pada 2 November 2020.

Kata Firdaus, sebetulnya 7 hari itu pekerjaan ringan karena memang sudah tugas mereka sehari-hari. Namun, dia menuturkan bahwa yang terjadi di lapangan banyak pelaku usaha yang mengajukan permohonan hingga berbulan-bulan tidak mendapatkan rekomtek.

Karenanya, menurut Firdaus, kecepatan proses perizinan itu yang nantinya akan dipertegas melalui NSPK dan diharapkan bisa dipahami oleh semua pihak terkait.

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, mengatakan yang menjadi titik krusial dari RPP SDA ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan pemenuhan hak-hak rakyat dan kepentingan bisnis.

Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah tinggal bagaimana mengharmonisasikan, mensinergikan, mengkoordinasikan, dan mengadilkan dengan kebijakan-kebijakan yang transparan dan akuntabel, sehingga masing-masing pihak ini punya kepentingan.

Jadi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kepentingan pengusaha untuk kepentingan bisnis juga mempunyai kepastian untuk terpenuhi. Ini yang menurut dia harus diselesaikan ke depannya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida juga setuju bahwa Indonesia memerlukan keseimbangan visi pengelolaan air.

Keseimbangan di antara hak rakyat dan juga kepentingan bisnis. Karena bisnis adalah bagian dari rakyat juga. Keseimbangan antara lingkungan, ekonomi, dan aspek sosial, itu juga menjadi penting.

Penguasaan air oleh negara pada akhirnya mencerminkan bagaimana bangsa ini mampu berbuat bijak kepada rakyat sekaligus kepada alam pembentuknya.

Sebab sesuatu yang terbatas jika digunakan dengan baik dan bijak akan mendatangkan manfaatnya yang luar biasa besarnya. Termasuk juga air, jangan sampai negeri ini krisis air akibat ketidakseimbangan antara pemenuhan hak rakyat dan kelestarian alam.*

Baca juga: Adaro Metcoal Companies bangun bendungan sarana air bersih lima desa

Baca juga: Sejumlah warga Temanggung masih membutuhkan bantuan air bersih

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021