Jakarta (ANTARA) - "Enggak, enggak usah," kata Sanny Limbunan ketika seorang penyelam muda dari Korps Brigade Mobil Polri mengulurkan tangan untuk membantu dia naik ke perahu karet.

Penyelam senior itu menolak uluran tangan dari juniornya. Dia naik sendiri ke perahu karet setelah membantu mencari penumpang dan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ-182.

Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor register PK-CLC SJ 182 yang menerbangi rute Jakarta-Pontianak pada 9 Januari 2021 jatuh di wilayah perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Pesawat Boeing 737-500 yang lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, pada Sabtu (9/1) pukul 14.36 WIB itu menurut data manifes membawa 62 orang yang terdiri atas 50 penumpang dan 12 kru.

Operasi pencarian penumpang dan bagian dari pesawat tersebut melibatkan para penyelam, termasuk di antaranya Sanny.

Sanny adalah penyelam dari Pengurus Besar Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI). Tahun ini usianya genap 60 tahun. Rambutnya hampir seluruhnya sudah putih. Otot-ototnya tidak lagi kencang. Kerutan-kerutan pun tampak di wajahnya.

Namun dia tidak merasa tua. "Masih mudaaaa," katanya ketika ditanya mengenai perbedaan menyelam pada usia muda dan tua.

Bagi Sanny, usia hanya angka. Suaranya masih lantang saat berbicara. Semangatnya tetap berapi-api, tidak menjadi surut dengan bertambahnya usia.

Bersama dengan tim penyelam gabungan dari Polri, Sanny menyelam untuk membantu mencari jasad penumpang dan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu.

Sanny bukan satu-satunya penyelam senior yang ikut dalam misi kemanusiaan tersebut.

Hananta Tedjapawitra, rekan Sanny dari POSSI yang sudah berusia 64 tahun, juga membantu operasi SAR untuk menemukan jasad penumpang dan pesawat Sriwijaya Air SJ-182. 

Hananta pertama kali menyelam tahun 1979 sedangkan Sanny mulai menyelam tahun 1980. Mereka berdua masih sering menyelam sampai sekarang.

Dalam misi pencarian pesawat Sriwijaya Air SJ-182, Sanny dan Hananta sekaligus menjadi instruktur selam bagi para penyelam junior dari Polri. 

Di Kapal Polisi Bisma 8001 yang menjadi posko tim penyelam Polri, Sanny dan Hananta memberikan arahan pada para penyelam junior dari Korps Kepolisian Air dan Udara Badan Pemeliharaan Keamanan Polri, Polda Metro Jaya, Polda Banten, Polda Jawa Barat, dan Korps Brimob.

Operasi SAR Sriwijaya SJ-182 bukan operasi pencarian pesawat jatuh yang pertama bagi Sanny dan Hananta.

Sebelumnya, Sanny dan Hananta terlibat dalam operasi pencarian penumpang dan serpihan pesawat Lion Air JT-610 yang pada 29 Oktober tahun 2018 jatuh di wilayah perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat.

Mereka juga membantu operasi pencarian dan penyelamatan saat pesawat AirAsia QZ-8501 jatuh di wilayah Laut Jawa dekat Selat Karimata pada 28 Desember tahun 2014, saat terbang dari Surabaya menuju ke Singapura.

Sanny mengatakan bahwa penyelaman dalam operasi-operasi SAR untuk menemukan penumpang serta bagian pesawat yang jatuh tersebut berbeda-beda tantangannya.

Operasi SAR di wilayah perairan Kepulauan Seribu untuk menemukan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 dan jasad penumpangnya terkendala jarak pandang yang sangat pendek. 

Sedangkan operasi pencarian di wilayah perairan tempat jatuhnya pesawat AirAsia QZ-8501 menjadi lebih menantang karena gelombangnya tinggi.

Menurut Sanny, operasi pencarian di lokasi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 merupakan yang paling sulit. "Kedalamannya 30 meter dan lumpurnya tebal, visibility jelek," katanya.

Baca juga: Basarnas fokuskan pencarian CVR Sriwijaya Air ke bawah air

Penyelam senior dari PB POSSI Sanny Limbunan (kedua kiri) memberikan arahan bagi penyelam junior dari Korps Brimob Polri di atas KP Bisma 8001 di atas perairan Kepulauan Seribu Jakarta untuk mencari korban dan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di perairan tersebut. (ANTARA/Aditya Ramadhan)
Menikmati Menyelam

Sanny mengatakan bahwa menyelam adalah olahraga yang menyehatkan karena membuat semua bagian tubuh bergerak.

Ia mengemukakan bahwa menyelam di kedalaman lebih dari 20 meter membuat seluruh tubuh ibarat dipijat karena mendapatkan tekanan.

Sanny juga menceritakan pengalamannya menyelam pada tahun 1980-an, ketika peralatan menyelam belum secanggih pada masa sekarang.

Pada era 80-an, ia menuturkan, penyelam harus memasang alat selam dan tabung oksigen setelah berada di dalam laut.

"Pasang alat di bawah, menyelam dulu 20 meter," kata dia.

Hal yang demikian tentu berisiko membahayakan keselamatan.

Pada masa perlengkapan selam sudah lebih canggih seperti masa sekarang pun, penyelam harus berhati-hati saat melakukan penyelaman.

Relawan penyelam dari Komunitas Pecinta Laut Jahja Maramis mengatakan bahwa menyelam termasuk olahraga dengan risiko tinggi. 

"Olahraga selam itu lebih berbahaya dari terjun payung. Kalau menyelam tidak boleh sendiri, minimal berdua," kata Jahja, yang turut membantu operasi pencarian penumpang dan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Kepulauan Seribu.

Menurut dia, hal itu diperlukan agar bila seorang penyelam perlengkapannya rusak atau bermasalah saat menyelam ada yang membantu.

Tantangan-tantangan dalam olahraga selam tersebut tidak menyurutkan semangat Sanny untuk menyelam dan menggunakan keahliannya untuk membantu misi-misi kemanusiaan. 

Sanny mengatakan bahwa dia tidak akan berhenti menyelam. "Orang hobi kok, mana ada hobi pensiun," katanya.

Baca juga: SAR gabungan kumpulkan 14 kantong jenazah korban SJ-182 hari ke-11

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021