“Inggris pernah menjadi kekuatan utama dunia dalam waktu lama dan kemundurannya terjadi perlahan selama puluhan tahun. Uni Soviet hancur laksana gelas yang jatuh ke lantai. Saya kira kemunduran AS akan menyerupai Inggris,"
Jakarta (ANTARA) - Kerusuhan 6 Januari 2021 di Gedung Capitol dan semakin dalamnya perpecahan di dalam negeri memicu kembali premis bahwa Amerika Serikat tengah menuju episode terakhirnya seperti dialami imperium-imperium dunia sebelum mereka.

Yan Xuetong, salah satu penasihat kebijakan paling berpengaruh di China yang juga profesor hubungan internasional pada Universitas Tsinghua, menjadi orang kesekian yang menyatakan AS tengah berada di ambang kemunduran.

Dalam wawancara dengan mingguan bergengsi Jerman, Der Spiegel, Xuetong menyatakan setiap imperium selalu mengalami tahap muncul, bertahan hidup dan terbenam. Semua imperium niscaya terbenam, demikian juga AS.

Xuetong mengaku tidak kaget oleh adanya skenario kemunduran AS, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana kemunduran itu terjadi.

“Inggris pernah menjadi kekuatan utama dunia dalam waktu lama dan kemundurannya terjadi perlahan selama puluhan tahun. Uni Soviet hancur laksana gelas yang jatuh ke lantai. Saya kira kemunduran AS akan menyerupai Inggris," kata Xuetong.

Xuetong menunjuk sejumlah faktor, termasuk kebijakan luar negeri AS yang tidak lagi memiliki kredibilitas yang makin rusak oleh unilateralisme Donald Trump yang kini tengah dianulir oleh Joe Biden.

AS juga tercoreng oleh caranya memperlakukan demokrasi ketika akun Twitter milik Trump pun diblok dan hak Trump untuk dipilih kembali berusaha dimatikan oleh pemakzulan di Senat.

Negara yang dianggap pendekar demokrasi dunia yang menyanjung kebebasan berpendapat itu kini malah cenderung tak menoleransi opini berbeda yang justru mendegradasi dirinya baik di mata sekutu maupun rezim-rezim otoriter seperti China yang kian percaya diri bahwa sistem merekalah yang tepat bagi dunia.

Baca juga: YouTube perpanjang blokir akun Trump

Anggapan AS di ambang kemunduran sebenarnya sudah tercetus sejak puluhan tahun silam, di antaranya setelah Uni Soviet mengalahkan AS dalam perlombaan ke antariksa setelah meluncurkan Sputnik 1 pada 1957 dan ketika AS kalah perang di Vietnam pada 1975.

Bukan hanya Yan Xuetong dan pakar-pakar China yang aktif menghembuskan teori kemunduran ini karena di AS sendiri pandangan itu tumbuh subur jauh sebelum Trump. Uniknya pandangan ini dibangun di atas premis-premis relatif sama dari masa ke masa.

Harvard Business Review edisi Juli-Agustus 1992 misalnya, menulis bangsa yang pernah disanjung karena optimismenya yang tinggi itu berubah menjadi terobsesi pada kemunduran setelah menyaksikan tingkat upah yang anjlok, produktivitas yang menurun, perusahaan nasional yang tidak kompetitif di pasar global, kerah putih yang tak lagi nyaman, infrastruktur yang mandek, defisit anggaran yang menjulang, sistem kesehatan yang timpang, kota-kota yang tak lagi aman dan kian besarnya jurang antara miskin dan kaya.

Faktor-faktor yang disebut 29 tahun silam itu juga menjadi subyek-subyek yang dirangkumkan Trump dalam slogannya, "Make America Great Again". Ironisnya gagasan ini kemudian membuat negara adidaya pelopor multilateralisme itu malah menjadi Amerika-sentris yang menolak kerangka konsultasi global.

Baca juga: Trump buka kantor di Florida untuk dorong agenda pemerintahannya dulu


Selanjutnya: China antusiastis

Copyright © ANTARA 2021