Perlunya membuka membuka ruang aspirasi dan diskusi dari berbagai pakar dan elemen bangsa lainnya secara luas untuk mendapatkan masukan
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menyatakan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu kembali ke niat awal yaitu memastikan transaksi elektronik aman untuk perlindungan hak konsumen.

"Filosofi dan tujuan dibuatnya UU ITE perlu dikembalikan pada niat awal pembentukannya, yaitu memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik sehingga hak-hak konsumen bisa terlindungi," kata Guspardi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.

Untuk itu, ujar dia, perlu adanya kajian yang komprehensif dalam rangka melakukan revisi UU ITE.

Baca juga: Kemenko Polhukam bentuk 2 tim revisi UU ITE

Selain itu, ia juga mengingatkan perlunya membuka membuka ruang aspirasi dan diskusi dari berbagai pakar dan elemen bangsa lainnya secara luas untuk mendapatkan masukan.

Memperhatikan adanya usulan revisi UU ITE ini, politisi Fraksi PAN itu meminta pemerintah untuk segera mengajukan usulan revisi UU ITE kepada parlemen.

Usulan tersebut, lanjutnya, dengan berorientasi kepada semangat untuk membangun ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, dan produktif.

Tidak hanya itu saja, menurut dia, perlu pula berorientasi terhadap prinsip kebebasan menyampaikan pendapat dan menjunjung tinggi rasa keadilan juga harus dijamin oleh negara.

Wacana revisi terhadap UU No 11/2008 diapresiasi beragam pihak, serta penting pula ditekankan bahwa hal tersebut harus selaras dengan perubahan dalam kondisi teknologi informasi terkini.

"Perubahan tersebut harus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi yang ada. Sebab, teknologi informasi ini perubahannya sangat cepat. Tidak menunggu tahun, kadang perubahannya dalam hitungan pekan atau bulan," kata Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay.

Untuk itu, ujar dia, wacana revisi UU ITE harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi kontemporer. Hal tersebut, lanjutnya, termasuk perkembangan media-media sosial, serta situasi pandemi di mana masyarakat banyak beraktivitas dengan menggunakan internet.

Ia juga berpendapat bahwa revisi harus diarahkan pada pengaturan pengelolaan teknologi informasi, bukan penekanan pada upaya pemidanaan karena aturan pidana sebaiknya diatur di dalam KUHP.

"Kalau persoalan penipuan, penghinaan, penghasutan, adu domba, penyebaran data yang tidak benar, cukup diatur di KUHP. Dengan begitu, implementasi UU ITE lebih mudah. Tidak ada tumpang tindih," ucapnya.

Saleh juga mengatakan pihaknya mengapresiasi kepedulian Presiden Joko Widodo merespons isu-isu aktual yang mencuat di masyarakat, termasuk penerapan UU ITE.

Ia menyatakan senang bila pemerintah menginisiasi perubahan UU ITE karena kalau pemerintah yang mengusulkan, biasanya birokrasi lebih mudah.

Baca juga: Anggota DPR: Filosofi UU ITE harus dikembalikan awal pembentukan
Baca juga: Baleg: Ada mekanisme jika ingin revisi UU ITE masuk prolegnas 2021

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021