Jakarta (ANTARA News) - Kondisi Perumahsakitan di sejumkah daerah dinilai masih sering menelantarkan pasien, yang ditemukan berbagai kasus yang dikeluhkan pasien di beberapa rumah sakit pemerintah terutama di Jabodetabek, kata Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jabodetabek, Agung Nugroho.

Siaran pers Pengurus Nasional DKR di Jakarta, Rabu, menyatakan bahwa Ketua DKR Jabodetabek itu melaporkan persoalan yang masih sering muncul adalah penolakan pasien dengan alasan ruangan penuh, tidak ada obat sampai pungutan di rumah sakit.

"Kalau ketahuan pasien dengan jaminan atau pasien dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM), petugas ogah-ogahan menangani. Memang di UGD pungutan sudah berkurang, tetapi pasien diminta pernyataan tunai atau dengan jaminan. Karena takut tidak dilayani, maka keluarga pasien pasti akan menyatakan tunai," kata Agung Nugroho.

Sementara itu, Ketua DKR Jakarta Timur, Deddy Firmatus menjelaskan, kalau pasien akan dirawat inap, pasien tak mampu atau miskin dengan SKTM akan diminta kontribusi beragam dari Rp1 juta sampai Rp500 ribu. Padahal sudah jelas-jelas pasien tidak punya uang.

"Anehnya kontribusi bisa tawar-menawar. Kalau mau dapat pelayanan maka harus bayar kontribusi. Pasien miskin sudah sakit terlilit hutang sana-sini," ujarnya.

Beberapa waktu lalu Deddy Firmatus menjelaskan bahwa Pasien miskin bernama Wiwik (27) asal dari Bidaracina dipaksa oleh perawat untuk menandatangani sendiri surat penolakan mayat bayinya di sebuah RS di Jakarta Timur. Kemudian mayat bayi ditinggalkan di meja pasien. Pasien tidak bisa menghadiri penguburan bayi sebab tidak diijinkan meninggalkan rumah sakit karena tidak punya uang untuk membayar ongkos rumah sakit.

Masih di rumah sakit yang sama, pasien tumor, Amim (37) tidak diberikan obat albumin oleh rumah sakit dengan alasan habis. Oleh petugas apoteker keluarga pasien miskin tersebut diarahkan membeli obat tersebut di apotek luar rumah sakit.

"Hanya setelah Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan ikut campur tangan, baru pasien miskin ditangani," ujarnya.

Menjawab hal tersebut Direktur Umum RS Persahabatan, dr. Priyanti Z. Soepandi, Sp.P(K) menjelaskan bahwa selama ini sering terjadi salah paham dengan pihak pasien karena pasien tidak mengerti prosedur di rumah sakit. Ia membantah ada pungutan dan penelantaran pasien di rumah sakit.

"Namun kami berharap relawan dapat bekerjasama dengan rumah sakit agar tidak ada lagi salah paham di masa depan. Kalau ada temuan petugas yang menyulitkan pasien miskin segara sampaikan pada saya, agar segera saya tindak," katanya.

Malahan pihak RS Persahabatan mengeluhkan tunggakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada pembayaran pasien Gakin.
"Sampai akhir 2010 Dinas Kesehatan DKI Jakarta masih menunggak lebih dari Rp3 miliar dan pada tahun 2009 hampir Rp2 miliar," jelasnya.

Dr. Riyadi dari Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa semua keluhan  masyarakat seharusnya sudah bisa ditampung dan ditangani oleh Pusat Tanggap Cepat kementerian Kesehatan di nomor 021-500567.

Namun hal ini dibantah oleh Ketua DKR Jakarta Pusat, Amir Sjarifudin yang menyampaikan bahwa masyarakat mengeluhkan setiap kali menghubungi nomor tersebut, tidak pernah ada tindak lanjutnya.

"Wajar kalau DKR langsung menghubungi ke Menteri Kesehatan, karena selama cukup tanggap dalam menindak lanjuti keluhan pasien miskin yang mendapatkan kesulitan di Rumah Sakit," demikian ujarnya.(*)
(R009/AR09)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011