Jakarta (ANTARA) - “Butuh dana cepat?, proses mudah?, bunga rendah?, dan minat?” begitulah empat pertanyaan singkat para pemberi pinjaman online ilegal (pinjol) yang mengawali munculnya harapan penerima pesannya untuk keluar dari permasalahan ekonomi mendesak.

Terlebih di tengah hantaman pandemi COVID-19. Kondisi itu merenggut sebagian besar pekerjaan masyarakat, melemahkan sumber rezeki, hingga pinjol ilegal menjadi jalan keluar yang tampaknya mudah untuk dilalui.

Namun sayang, seperti yang dikatakan Pengamat Keamanan Siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya bahwa penawaran yang diberikan pinjol ilegal adalah jebakan yang memerangkap seseorang agar menyerahkan diri secara sadar untuk dikelabui.

Masyarakat yang memang membutuhkan pinjaman uang yang terkesan cepat dan mudah itu pun secara sadar memberikan berbagai data pribadi, mulai dari kontak, foto, video, lokasi, bahkan fotokopi KTP elektronik.

Untuk memerangkap para korbannya, menurut Alfons Tanujaya, pinjol ilegal pada umumnya melakukan dua metode. Pertama, metode pesan broadcast. Mereka membeli kartu prabayar, kemudian mengirimi ribuan hingga puluhan ribu nomor secara acak untuk ditawari pinjaman online.

Metode kedua, mereka mendapatkan database dari sesama tim telemarketing pinjol ilegal. Mereka berbagi data pribadi para pengguna pinjol yang terdahulu. Selanjutnya, data tersebut diolah kembali oleh perusahaan lain untuk kembali menawari pinjaman.

Dari metode itulah, tawaran tidak henti menghantui calon peminjam. Bagi mereka yang memang terdesak, pinjaman secara instan membuatnya terlena. Kurang beruntungnya, kebanyakan peminjam justru kehilangan cara untuk melunasi, dicekik oleh tekanan bunga pinjaman, lalu penagihan dilakukan dengan berbagai bentuk ancaman.

Pada umumnya, seperti keterangan dari buku saku untuk korban pinjol berjudul Self Help Tool Kit: Bagaimana Anda Mengatasi Permasalahan Utang Pinjaman Online dan Kekerasan Berbasis Gender Online yang dibagikan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, para penagih utang dari pihak pinjol ilegal ini akan meneror para korban dengan berbagai bentuk ancaman dan intimidasi.


Masalah mendasar pinjol

Menurut Arif Maulana, masalah mendasar maraknya pinjol ilegal adalah aturan hukum yang lemah dalam melindungi hak warga sebagai konsumen pinjol tersebut.

Beberapa di antaranya adalah mekanisme peminjaman yang begitu mudah tanpa assessment atau penilaian terhadap layak tidaknya seseorang melakukan pinjaman uang dan verifikasi yang memadai terhadap pengguna layanan ilegal tersebut. Selain itu, tidak ada perlindungan terhadap data pribadi pengguna.

Lemahnya aturan hukum terkait hal-hal yang dituliskan di atas mendorong kemunculan banyaknya praktik penyebaran dan penyalahgunaan data pribadi pengguna pinjol ilegal yang melanggar hukum.

Baca juga: Cerita korban jebakan 'batman' pinjol ilegal

Menurut Arif, sebenarnya ada sejumlah aturan hukum yang dapat mengatasi dan memberikan keadilan bagi para korban pinjol. Ada Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang bertuliskan, “penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang bersangkutan,” dan “setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimanana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.”

Selain itu, ada pula penjelasan yang sebenarnya telah melarang tindakan penyebaran data pribadi atau informasi elektronik milik orang lain dalam Pasal 32 UU ITE. Para penyebar data pribadi atau informasi elektronik dengan cara apa pun tanpa persetujuan pihak pemilik data adalah mereka yang tergolong melawan hukum.

Akan tetapi ironisnya, menurut Arif, penegakan hukum terhadap penyalahgunaan data pribadi milik masyarakat yang menjadi korban pinjol ilegal masih lemah. Sejak tahun 2018, LBH Jakarta mulai menangani berbagai aduan masyarakat di Tanah Air terkait pinjol ilegal. LBH Jakarta memberikan bantuan hukum, mulai dari konsultasi, pemberdayaan hukum, hingga pendampingan terhadap beberapa kasus pinjol ilegal yang memenuhi persyaratan mereka.

Dari berbagai kasus yang ditangani itu, lanjut Arif, akar persoalan pinjol ilegal adalah buruknya aturan pinjaman yang dimuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77/POJK.01/2016. Aturan tersebut masih rentan untuk disalahgunakan oleh pihak pinjaman online karena besarnya kewenangan yang diberikan OJK kepada mereka. Namun di sisi lain, peran dalam pengawasan dan perlindungan bagi para pengguna pinjaman itu masih lemah diberikan oleh OJK.

“Ketentuan tersebut mestinya dapat digunakan aparat penegak hukum untuk kasus penyalahgunaan data pribadi oleh siapa pun, termasuk provider pinjaman online illegal,” kata Arif.

Ia pun menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi mendesak untuk segera disahkan agar mampu memberikan payung hukum dalam melindungi data pribadi masyarakat. Tidak adanya perlindungan terhadap data pribadi tidak hanya mendatangkan kerugian dari sisi ekonomi, melainkan juga berdampak pada hilangnya pelindungan terhadap hak-hak dasar individu warga negara.


Kurangnya kesadaran masyarakat

Selain persoalan lemahnya hukum, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan data pribadi juga menjadi faktor penambah luasnya penebaran “jaring” jebakan pinjol ilegal.

Sebagai pengamat keamanan siber, Alfons Tanujaya menilai kesadaran masyarakat di Indonesia tentang pentingnya menjaga data pribadi masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh kurangnya edukasi tentang pentingnya keamanan data pribadi.

Hal senada diungkapkan Dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM Lukito Edi Nugroho. Dia mengimbau agar masyarakat tidak mudah memberikan identitas diri di media sosial karena rentan untuk disalahgunakan dan diduplikasi sehingga berujung merugikan, termasuk dalam hal pengajuan pinjaman online.

Masyarakat perlu lebih waspada dan mengabaikan pesan-pesan dari pengirim yang tidak jelas dan mencurigakan. Ketika terpaksa melakukan pinjol, menurut Lukito, masyarakat harus memastikan terlebih dahulu layanan tersebut terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian, pahami persyaratan, ketentuan, dan mekanisme peminjaman. Jangan mudah tertarik menggunakan penawaran dengan syarat yang terlalu mudah.

Baca juga: Atasi pinjol ilegal, LaNyalla minta akses kredit perbankan dipermudah

Yang tidak kalah penting adalah kewaspadaan terhadap permintaan akses data dari pihak pinjol. Apabila akses terbilang tidak wajar, seperti meminta kontak orang lain, tindakan itu perlu untuk diwaspadai.

Alfons Tanujaya menjelaskan sebenarnya banyak hal praktis yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan data pribadi oleh pinjol ilegal, bahkan menghadapi eksploitasi data yang bocor di dunia digital.

Pertama, masyarakat bisa menggunakan aplikasi Truecaller. Aplikasi ini merupakan program crowdsourcing yang akan menyaring pesan dan panggilan spam akibat eksploitasi nomor ponsel. Penawaran pinjol pun bisa diatasi.

Peran dari aplikasi ini datang dari para penggunanya. Apabila salah satu pengguna menerima pesan singkat ataupun telepon yang bersifat spam dan melakukan penandaan nomor tersebut sebagai spammer, informasi yang ia berikan itu akan secara otomatis diluaskan ke pengguna lain. Dengan begitu, seluruh pengguna Truecaller akan mendapatkan informasi bahwa nomor tersebut adalah spammer dan aplikasi pun bisa memblokir nomor bersangkutan.

Kedua, ada pula Password Manager. Aplikasi ini akan menyimpan dan mengelola beragam password akun-akun media sosial para penggunanya, baik itu email, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya ke dalam satu password saja. Password tersebut terjamin aman karena aplikasi Password Manager akan menyimpan dan melakukan enkripsi, yaitu mengubah informasi menjadi kode rahasia, dan ada sinkronikasi antarperangkat. Ketika diindentifikasi akun media sosial seseorang masuk di perangkat yang berbeda, aplikasi itu akan meminta password yang tersimpan di Password Manager.

Baca juga: Membangkitkan kesadaran masyarakat untuk hindari petaka pinjol ilegal

Yang terakhir adalah mengaktifkan One Time Password-Two Factor Authentication (OTP-TFA) di semua layanan digital yang digunakan masyarakat. Dengan memanfaatkan OTP-TFA, akun digital akan terlindungi dan aman karena untuk memasukinya dibutuhkan langkah verifikasi yang tidak mudah diakses oleh pihak ketiga.

Pada kesimpulannya, jebakan pinjol ilegal perlu untuk segera dituntaskan melalui penyelesaian terhadap akar masalanya, yaitu penegakan hukum, peningkatan kesadaran, dan kewaspadaan masyarakat terhadap pentingnya pengamanan data-data pribadi di dunia digital.

Negara harus mulai berbenah memperbaiki "aturan main" dalam penyelenggaraan pinjol dan memberikan edukasi penggunaan dunia digital kepada seluruh lapisan masyarakat agar aliran kasus ini dapat berhenti secepatnya.

Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021