angka kasus kekerasan seksual ini bukan sekadar angka. Satu saja yang menjadi korban, itu adalah manusia yang jadi korban
Jakarta (ANTARA) - Pakar dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, melengkapi kerangka hukum yang sudah ada.

  “Permendikbudristek PPKS ini keluar karena intinya adalah, semua orang yang bisa melakukan sesuatu dan punya kewenangan sesuai kapasitasnya harus terus bergerak. Karena angka kasus kekerasan seksual ini bukan sekadar angka. Satu saja yang menjadi korban, itu adalah manusia yang jadi korban,” kata Bivitri dalam diskusi panel pada peluncuran Merdeka Belajar episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual secara daring di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Alissa Wahid: Permendikbud PPKS jawab penyelesaian kasus dari kampus

  Bivitri menekankan jika di masyarakat ada yang mempertanyakan boleh atau tidak seorang menteri membuat peraturan seperti ini, ia menjawab dengan tegas hal itu diperbolehkan.

  “Dalam teori hukum, ada wewenang membuat peraturan berdasarkan atribusi, di mana dalam hal ini wewenang untuk mengatur kampus-kampus adalah milik Kemendikbudristek,” kata dia.

  Terkait sebagian kecil publik yang mempermasalahkan kata ‘tanpa persetujuan’ seakan menjadi boleh untuk melakukan hubungan seksual jika ada persetujuan, Bivitri menilai alasan tersebut tidak berdasar.

Baca juga: Nadiem sebut pihaknya tidak pernah mendukung seks bebas

  Bivitri mengatakan dalam hukum, terutama dalam sistem hukum Indonesia, tidak semua yang tidak diatur dalam sebuah peraturan maka menjadi boleh. Dia menggarisbawahi Permendikbudristek tersebut khusus mencegah dan menangani kekerasan seksual, bukan mengatur soal-soal lainnya.

  Terakhir Bivitri juga menjawab mispresepsi masyarakat terkait perlindungan bagi pelaku kekerasan di kampus sehingga tidak perlu dibawa ke ranah penegakan hukum. Bivitri melihat bahwa Permendikbudristek ini mengatur dari dua sisi, yaitu pencegahan dan pendampingan.

Baca juga: Nadiem sebut ada pandemi kekerasan seksual di perguruan tinggi

  “Permendikbudristek PPKS mengatur juga pendampingan hukum. Pendampingan hukum untuk siapapun itu, bisa mahasiswa atau dosen, bisa melakukan pelaporan. Jadi, tidak menghilangkan atau memberikan imunitas untuk pelaku, tapi didampingi agar kasusnya bisa selesai,” ujarnya.

  Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan Peraturan Mendikbudristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) sebagai solusi berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi.

Baca juga: Peneliti: Aturan PPKS tidak sebut pelegalan hubungan suka sama suka

  "Permendikbudristek PPKS ini adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai dari orang tua, pendidik, dan tenaga kependidikan, serta mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia,” ujar Nadiem.

  Terbitnya peraturan menteri itu bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga kampus melalui edukasi tentang kekerasan seksual sebagai upaya pencegahan, mewujudkan dan menguatkan sistem penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, dan membentuk lingkungan perguruan tinggi yang aman bagi seluruh sivitas akademika dan tenaga kependidikan untuk belajar dan mengaktualisasikan diri.

Baca juga: Kowani sambut baik Permendikbudristek Penanganan Kekerasan Seksual

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021