Artinya, pelaku tindak pidana seksual akan menerima hukuman pidana penjara dan pidana denda.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Gerindra DPR RI Sodik Mudjahid mengatakan fraksinya mengusulkan judul Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menghilangkan kata "kekerasan".

"Kami menyetujui nama RUU diubah dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lebih lanjut, kami juga berharap kata 'kekerasan' dihapus, sehingga menjadi RUU Tindak Pidana Seksual," kata Sodik saat membacakan pendapat F-Gerindra dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI, di Kompleks Parlemen, Rabu.

Ia menjelaskan bahwa kata "kekerasan" identik bersifat fisik, sementara dalam RUU tersebut juga mengatur tindak pidana seksual yang bersifat nonfisik.

Selain itu, menurut dia, kata "kekerasan" bertendensi bahwa RUU tersebut lebih mengedepankan penindakan, padahal paradigma pencegahan jauh lebih penting.

"Atau setidak-tidaknya harus berimbang antara pencegahan dan penindakan," ujarnya.

Sodik mengatakan bahwa F-Gerindra juga memberikan masukan terkait dalam landasan filosofis RUU sebagaimana yang tercantum dalam konsiderans menimbang, perlu mengganti frasa "dari kekerasan" menjadi "dari ancaman ketakutan" seperti yang disebutkan dalam Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945.

Di samping itu, lanjut dia, untuk menimbulkan efek jera, pelaku tindak pidana seksual perlu diberi hukuman yang lebih berat sehingga konjungsi "dan/atau" pada Pasal 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 perlu diganti dengan kata hubung "dan" saja.

"Artinya, pelaku tindak pidana seksual akan menerima hukuman pidana penjara dan pidana denda. Hal tersebut juga untuk menutup kemungkinan dijatuhkannya hukuman pidana denda saja," katanya.

Terkait dengan Pasal 5 mengenai pelecehan seksual berbasis elektronik, menurut dia, perlu perumusan lebih jelas sehingga F-Gerindra mengusulkan frasa "segala sesuatu yang bermuatan seksual" diganti menjadi "pornografi dan/atau pornoaksi" sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut, menurut dia, untuk melindungi pihak-pihak yang tidak memiliki niat melakukan kejahatan seksual agar tidak menjadi sasaran pasal tersebut, misalnya pedagang alat kontrasepsi atau obat seks yang biasanya juga mengirim contoh produk yang bermuatan seksual kepada calon pembeli melalui media elektronik.

"Terkait dengan Pasal 18 dan Pasal 43 yang memuat frasa 'tidak boleh menjustifikasi kesalahan, cara hidup, dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual korban dan/atau saksi', kami berpandangan bahwa frasa tersebut berpretensi melindungi praktik seks menyimpang dan free sex. Kami berharap agar frasa 'cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual' dihapus dari kedua pasal tersebut," katanya.

Terkait dengan Pasal 66 tentang peran serta keluarga, Fraksi Partai Gerindra menilai hal ini bernilai sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana seksual.

Oleh karena itu, pihaknya memandang perlu ada penguatan pasal tersebut berupa reward and punishment kepada keluarga yang aktif atau tidak aktif dalam pencegahan tindak pidana seksual.

Baca juga: F-Golkar minta penundaan pengambilan keputusan RUU TPKS

Baca juga: Baleg agendakan pleno pengambilan keputusan RUU TPKS


Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021