Jakarta (ANTARA) - KPK menduga perbuatan tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland tipe AW-101 di TNI AU mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar.

"Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar," kata Ketua KPK, Firli Bahuri, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.

KPK menahan Irfan, yang merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG), Selasa, pascapenetapan dia sebagai tersangka pada Juni 2017.

Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), sebagai salah satu pegawai perusahaan AgustaWestland, menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat sebagai asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU dengan pangkat marsekal muda TNI (bintang dua), di Markas Besar TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur.

Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU. Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada dalam konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP yang kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP (khusus helikopter angkut kepresidenan).

"IKS, yang juga menjadi salah satu agen AW, diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, dimana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar)," kata Bahuri.

Baca juga: KPK periksa tersangka kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101

Selanjutnya, sekitar November 2015, lanjutnya, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap pra-kualifikasi, dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.

"Dan hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," katanya.

Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus, yang hanya diikuti dua perusahaan.

Baca juga: KPK tahan tersangka kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101

Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan. Adapun harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran pada 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui pejabat pembuat komitmen (PPK).

"IKS juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan FA (Fachri Adamy) selaku PPK," kata Bahuri.

Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, KPK menduga Irfan menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang dan disetujui PPK.

"Untuk proses pembayaran yang diterima IKS diduga telah 100 persen, dimana faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda," ujarnya.

Bahuri menyatakan perbuatan tersangka Irfan itu diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 17/2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI.

Baca juga: KPK lengkapi pemberkasan kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022