Davos (ANTARA) - Menjelang Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2023 di Davos, Swiss yang akan dimulai Senin, beberapa kelompok menggelar demonstrasi anti Davos untuk memprotes perusahaan global karena memperburuk kerusakan alam akibat ulah manusia.

Aktivis dari Strike-WEF Collective dan Sosialis Muda Swiss berkumpul di Davos Postplatz pada Minggu (15/1) untuk mengkritik para elit Davos, menuduh mereka bersikap elitisme dan munafik karena tindakan, seperti terbang dengan jet pribadi ke pertemuan untuk membahas perubahan iklim.

Gianna Catrina (21 tahun), salah satu pemimpin aksi protes, mengatakan kepada Anadolu bahwa krisis ekologis saat ini dipicu oleh sistem ekonomi saat ini yang disebutnya "menyebabkan masalah lingkungan dan juga banyak masalah sosial."

“Makanya kami hadir untuk memprotes perubahan ekonomi global yang seharusnya mengubah pergeseran dari profit menjadi ekonomi yang peduli terhadap alam,” kata dia.

"Dan itu benar-benar gerakan global, yang mencakup pegiat lingkungan hidup, kelompok sayap kiri, dan para feminis. Saya pikir perubahan sedang terjadi saat ini ketika orang mulai memikirkan kembali ekonomi ... ekonomi kapitalis," ujar Catrina.

Dia juga menyerukan agar para pemimpin dunia mengalihkan fokus mereka dari hanya mencari keuntungan karena tanpa "melestarikan alam, ekonomi tidak mungkin berlangsung di masa depan."

Baca juga: Forum Ekonomi Dunia serukan kerja sama global yang lebih erat

Bermasalah
Claudio Bernard, demonstran lain dari Strike-WEF Collective, mengatakan mereka menuntut penghapusan WEF karena strukturnya yang bermasalah.

Menurut dia, forum tersebut hanya membawa kepentingan orang-orang berkuasa dan uang, tetapi tidak kepentingan masyarakat banyak.

"Ada banyak hal tidak demokratis yang terjadi di mana kesepakatan dan para diktator dapat diterima di sini dengan karpet merah," kata Bernard.

"Harus ada forum internasional, tetapi strukturnya harus benar-benar berbeda, bukan hanya melibatkan perusahaan-perusahaan bermodal besar," tuturnya.

Dia juga mengatakan pemerintah harus memastikan keadilan iklim, dan mereka harus menerima manfaat yang dapat diberikan planet ini, dan tidak mencoba mengambil terlalu banyak darinya.

Rosemarie Wydler-Walti, seorang aktivis iklim berusia 72 tahun, mengatakan bahwa dia adalah anggota dari kelompok yang terdiri atas sekitar 2.000 wanita yang bekerja untuk melindungi iklim di Swiss, yang disebut “negara yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim akibat gelombang panas."

Dia mengatakan bahwa mereka menggugat pemerintah Swiss dengan alasan gagal mengambil langkah yang memadai untuk memerangi perubahan iklim.

"Kasus ini akan disidangkan pada 29 Maret di Strasbourg, kota Pengadilan HAM Eropa berkantor, dan kami berharap langkah-langkah yang akan diambil terhadap perubahan iklim akan dievaluasi dalam kerangka hak asasi manusia," ujar Wydler-Walti.

"Pemerintah Swiss tidak melakukan apa pun untuk mengatasi perubahan iklim. Tidak ada yang sungguh-sungguh. Kami berada dalam posisi yang lebih buruk daripada negara-negara Eropa (lainnya) dalam hal ini," lanjutnya.

KTT tahunan
Dengan tema "Kerja Sama dalam Dunia yang Terfragmentasi", para tokoh terkemuka di dunia politik dan bisnis global akan menghadiri pertemuan tahunan WEF di Davos-Klosters, Swiss yang akan berakhir pada Jumat mendatang (20/1).

Pertemuan tersebut akan mempertemukan lebih dari 2.700 pemimpin dari 130 negara, termasuk 50 kepala negara dan pemerintahan, untuk membahas berbagai krisis yang memperdalam perpecahan dan memecah lanskap geopolitik.

KTT pada tahun ini juga akan diwarnai dengan partisipasi bisnis tertinggi di Davos, dengan lebih dari 1.500 pemimpin dari 700 organisasi telah mendaftar.

Kanselir Jerman Olaf Scholz adalah satu-satunya pemimpin negara anggota G7 yang menghadiri KTT tersebut.

Pemimpin Uni Eropa, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Finlandia, Yunani, Spanyol, Filipina, Afrika Selatan, dan Korea Selatan juga akan hadir di resor ski Swiss itu.

Sumber: Anadolu

Baca juga: WEF: Krisis tenaga kesehatan global bisa naik jadi 10 juta pada 2030

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023