Beijing (ANTARA News) - Untuk pertama kalinya semenjak era pemimpin Revolusi China, Mao Zedong, pemikiran seorang pemimpin di China masuk ke dalam struktur pendidikan secara langsung.

Sejak Oktober 2017, pemikiran Presiden Xi Jinping dipromosikan ke seantero China dan bahkan dunia, lewat masuknya "Pemikiran Xi" ke dalam kurikulum banyak universitas di daratan Tiongkok tersebut.

Kelas ideologi wajib dimutakhirkan oleh para universitas, diselaraskan dengan arahan pemerintah agar pemikiran-pemikiran Xi masuk ke dalam buku pelajaran, ruang belajar hingga pemikiran para mahasiswa.

Profesor ekonomi di Universitas Tsinghua sekaligus ahli "Eksepsionalisme China", Hu Angang, melihat kemunculan sosok pemimpin seperti China adalah sebuah keniscayaan.

Sedikitnya sejak satu dasawarsa silam, Hu meyakini bahwa sistem politik China yang unik akan menuntun China menjadi sebuah negara adidaya yang setara dengan Amerika Serikat.

Hu kini menjadi salah satu dari banyaknya kalangan akademis yang bermunculan yang mencoba membedah "Pemikiran Sosialisme Xi Jinping dengan Karakter China untuk Zaman Baru" dan mendedahnya kepada mahasiswa maupun kalangan birokrat.

"Pemikiran Xi sangat bermanfaat untuk dunia, tak ada bandingannya," kata Hu di kantornya di kampus Universitas Tsinghua, di barat daya Beijing.

"China memasuki zaman baru dan mulai memberikan manfaatnya kepada dunia, sebagaimana saya katakan 10 tahun lalu," ujarnya menambahkan, sebagaimana dilansir Reuters.

Baca juga: Kim Jong Un kembali temui Xi di Beijing

Baca juga: Xi Jinping: Marxisme masih "sepenuhnya benar" bagi China


Selain demi mengamankan dukungan untuk Xi, upaya para universitas tersebut juga ditujukan untuk mengembalikan kebanggaan ideologi Partai Komunis China (PKC), yang perlahan mulai tergerus di tengah masyarakat yang kian apatis terhadap politik dalam beberapa dasawarsa yang diwarnai lejitan pertumbuhan ekonomi, kata seorang ahli politik China.

Xi menginginkan agar nilai-nilai PKC diterima lebih baik oleh masyarakat China guna menambah warisan kepemimpinannya, kata Michael Gow, seorang ahli pendidikan tinggi China di Universitas Xian Jiaotong-Liverpool, di Suzhou, sebuah kota di timur China.

"Perbedaan kepemimpinan di bawah Xi adalah ia berusaha mengembangkan nilai-nilai negara agar menjadi lebih menarik dan dihidupi oleh masyarakat ingin dikuasai oleh negara," katanya.

Dorongan untuk menghidupkan kembali penerimaan ideologi PKC kembali muncul seiring parlemen menghapus aturan pembatasan masa jabatan kepresidenan pada Maret lalu, membuka jalan agar Xi bisa berkuasa sepanjang hayat, sebuah keputusan yang tentu saja menimbulkan kekhawatiran.


Jalan memutar

Pemikiran Xi, yang tak lain adalah kumpulan dari pernyataan-pernyataan publiknya, merupakan tuntunan segala untuk ambisi China menjadi kekuatan ekonomi dan militer pada 2050, yang berada dalam pengawasan ketat PKC. Sebagai catatan, satu dasawarsa lalu Hu mengajarkan kerja Bank Dunia sebagai standar utama dalam pembangunan, katanya.

"Namun sejak 2015 saya mulai mengubah kelas pengajaran, sebab China kini terdepan dan dunia tertinggal," kata Hu, sosok intelektual penting di China, yang senang mengenakan jam di kedua tangannya dan bersemangat ketika membicarakan subjek kegemarannya.

Dukungan personal kepada Xi bukanlah hal baru di China, namun bangunan ideologi yang dikembangkan diakselerasi lebih untuk menciptakan dukungan terhadap pemikiran dan kepemimpinannya di antara para birokrat maupun di kalangan institusi penting.

Baca juga: China perketat penguasaan media dengan perombakan regulator

Baca juga: ARTIKEL : Otak-atik gathuk ala Xi Jinping


Tentu saja, tidak semua orang sepaham dan sebangun dengan Hu.

Seorang mahasiswa ekonomi di sebuah universitas di Beijing yang mengajarkan Pemikiran Xi menyebut bahwa diskursus politik yang terjadi masih abai terhadap keterkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Bagi dia, Pemikiran Xi tak lebih dari festival jargon dan obral target, kata mahasiswa yang menolak untuk disebutkan namanya tersebut.

"Konsepnya sama sekali tidak akan bekerja secara objektif, dalam arti ide-idenya tak memiliki logika internal," kata si mahasiswa.

Sedikitnya 39 institut penelitian khusus Pemikiran Xi didirikan di universitas, lembaga pemerintahan dan kementerian China sejak Oktober 2017, sedangkan penataran bagi mahasiswa, pegawai pemerintahan maupun rakyat diselenggarakan di seantero negara.

Insitut Pemikiran Xi di Beijing dibekali anggaran 16 juta yuan (sekira Rp34 miliar dalam kurs Rp2.167 per yuan), seturut laporan Federasi Ilmu Sosial Beijing. Peneliti yang mengajukan pembiayaan lewat institut tersebut bisa memperoleh dana penelitian 80 ribu hingga 300 ribu yuan per proyek.

Lembaga dana penelitian paling bergengsi di China, Dana Sosial Sains Nasional, pada Juni mengumumkan dana penelitian 2018 dikucurkan kepada 90 proyek penelitian yang membubuhkan nama Xi di judulnya, 240 proyek dengan embel-embel "jaman baru" --salah satu jargon khas Xi-- dan belasan lainnya penelitian terkait berbagai inisiatif kebijakan berbau Pemikiran Xi.

Xie Yanmei, seorang pengamat politik dari lembaga riset Gavekal yang bermarkas di Beijing, menyebut langkah Xi mengawinkan nasionalisme dengan nilai-nilai tradisional China --yang merupakan bagian dari pendidikan patriotisme wajib-- kini bahkan lebih diminati dibandingkan pemikiran Mao ataupun Marx.

"Kelas-kelas yang mengajakarkan Marxisme maupun pemikiran Mao mungkin tak menciptakan penganut sejati, namun mereka menghasilkan pandangan bahwa untuk maju Anda harus berbicara bahasa yang sama, harus berpartisipasi dalam 'keyakinan' yang dibagikan," katanya.

Sebaliknya ada sejumlah elemen dari Pemikiran Xi yang menjadi aspek menarik bagi sebagian mahasiswa.

"Pandangan bahwa negara China dipimpin nilai-nilai China menuju pembaharuan akbar, saya pikir berhasil," pungkasnya.

Baca juga: Parlemen China memilih kembali Xi Jinping sebagai presiden

Baca juga: Perubahan masa bakti Presiden China mulai dibahas

Pewarta: ANTARA
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018