Phnompenh (ANTARA News) - Panitia Pemilihan Umum Kamboja pada Rabu mengatakan, sebanyak 50.000 pengamat dari China, Myanmar dan Singapura akan memantau pemilu di negara tersebut pada Juli.

Kamboja mengundang pengamat antarbangsa untuk memantau pemungutan suara itu, tapi pengawas pemilihan umum setempat, termasuk Panitia Pemilihan Bebas dan Adil di Kamboja (COMFREL) mendesak para pengamat asing itu berpikir dua kali sebelum menerimanya.

Korn Savang, koordinator pemantauan COMFREL, mengkritik China, Myanmar dan Singapura yang tidak memiliki cukup pengalaman.

"China tidak demokratik dan tidak memiliki pengalaman dengan pemilihan umum, Singapura juga tidak dan Myanmar baru mulai berdemokrasi, sehingga masalah rawan adalah penilaian mereka. Pada tingkat apa kami dapat memercayainya," kata Korn kepada Reuters.

Pada pemilu bulan depan itu, Perdana Menteri Hun Sen diperkirakan menang telak sesudah partai oposisi utama dibubarkan tahun lalu.

Hun Sen dan sekutunya telah melakukan tindakan terhadap penentangnya, termasuk anggota oposisi Partai Penyelamatan Bangsa Kamboja (CNRP).

CNRP dibubarkan dan anggota parlemennya dilarang berpolitik pada November sesudah Mahkamah Agung memutuskan bahwa partai itu mencoba menggulingkan pemerintah, yang dibantah CNRP.

Panitia Pemilihan Kamboja (NEC) menyatakan peran serta pengamat asing menunjukkan bahwa pemilihan umum itu terbuka dan menyeluruh.

"Itu menunjukkan bahwa pemilihan umum tersebut terbuka, peran sertanya luas dan banyak kepercayaan dalam pemilihan umum itu," kata juru bicara NEC, Hang Puthea, kepada Reuters pada Rabu.

NEC mengatakan meninjau permintaan tambahan 800 pengamat asing dari lembaga swadaya masyarakat, yang berusaha memantau pemilihan umum pada 29 Juli itu.

Rhona Smith, ahli hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kamboja, menyatakan pemilihan umum mendatang tidak murni jika CNRP dilarang mengambil bagian.

(Uu.B002)
 

Pewarta: Antara
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018