Besok Kamis (26/7), direncanakan pemeriksaan Idrus Marham sebagai saksi dalam kasus ini karena masih ada keterangan-keterangan yang mau digali
Jakarta (ANTARA News) - KPK akan kembali memeriksa Menteri Sosial Idrus Marham pada Kamis (26/7) sebagai saksi untuk kasus dugaan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"Besok Kamis (26/7), direncanakan pemeriksaan Idrus Marham sebagai saksi dalam kasus ini karena masih ada keterangan-keterangan yang mau digali," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Idrus sudah diperiksa pada Kamis (19/7) pekan lalu dalam kasus yang sama dan mengaku mengenal kedua tersangka yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.

"Saat itu jabatan yang bersangkutan adalah sebagai Sekjen Partai Golkar yang sekarang menjabat sebagai Menteri Sosial," kata Febri.

Idrus sendiri sudah mengatakan akan memenuhi panggilan KPK tersebut.

Sedangkan pada hari ini KPK memanggil empat saksi dalam kasus itu yaitu M. Al Khadziq selaku Bupati Temanggung terpilih yang juga suami dari Eni Maulani Saragih; Tahta Maharaya sebagai pegawai pemerintah non-PNS yang menjadi tenaga ahli DPR RI dan Audrey Ratna Justianty alias Tine sebagai karyawan swasta.

Sedangkan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT. PLN (Persero) SUpangkat Iwan Santoso belum memenuhi panggilan KPK hari ini.

"Dari saksi yang hadir kami menelusuri lebih jauh dugaan penerimaan yang sudah direalisasikan kepada tersangka sejak Desember tahun lalu dan sejauh mana saksi mengetahui penggunaan uang tersebut ke tersangka ES (Eni Saragih),"kata Febri.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA). PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.

Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.

Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaa pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Baca juga: KPK geledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir
Baca juga: Jaksa Agung bantah dampingi pembangunan PLTU Riau

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018