Jakarta (ANTARA News) - Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari, diambil dari tanggal lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946.

Hari Pers Nasional ditetapkan Presiden Suharto pada 1985 melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional.

Terlepas dari penolakan sejumlah organisasi pers non-PWI terhadap hari tersebut, pelaksanaan Hari Pers Nasional tetap berlangsung meriah setiap tahun.

Pada peringatan Hari Pers Nasional 2019 di Surabaya, Presiden Joko Widodo mengajak pers nasional untuk terus meneguhkan jati diri sebagai sumber informasi yang akurat dan terpercaya, serta meneguhkan jati diri untuk tetap mengedukasi masyarakat.

Presiden mengatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media konvensional atau arus utama masih lebih tinggi dibandingkan dengan media sosial.

"Terus terang saya sangat gembira dengan situasi seperti ini. Selamat kepada pers yang masih sangat dipercaya masyarakat," katanya.

Era media sosial, kata dia, membuat siapa pun dapat bekerja sebagai jurnalis, tetapi tidak sedikit yang menyalahgunakan media sosial untuk menebar ketakutan di ruang publik.

"Sekarang setiap orang bisa bisa menjadi wartawan dan pemred. Tetapi kadang digunakan untuk menciptakan kegaduhan, ada juga yang membangun ketakutan pesimisme," katanya.

Sejarah Pers

Pers di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Menurut Maskun Iskandar dalam "Panduan Jurnalistik Praktis", Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen adalah yang pertama kali memprakarsai penerbitan sebuah "newsletter" yang bernama "Memorie der Nouvelles" pada 1615.

"Memorie der Nouvelles" merupakan surat yang ditulis tangan berisi berita-berita dari Belanda dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat Perkumpulan Dagang Hindia Timur (VOC) hingga di Ambon.

Hanya orang-orang tertentu yang dianggap penting yang menerima "newsletter" tersebut karena hanya dibuat terbatas 30 eksemplar.

"Waktu itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil, apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi, ya, pegal, dong, kalau menulis lebih banyak dari itu," tulis Maskun.

Keinginan menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda saat itu sebenarnya sudah sangat lama, tetapi selalu dihambat oleh pemerintah VOC.

Baru setelah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbitlah surat kabar "Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen" yang artinya "Berita dan Penalaran Politik Batavia" pada 7 Agustus 1744.

Surat kabar yang diterbitkan Jan Erdmans Jordens itu memperoleh izin untuk masa kontrak tiga tahun. Penerbitan pertama langsung dikirim ke Belanda menggunakan kapal yang memerlukan perjalanan selama tujuh bulan.

Setelah menerima salinannya, pimpinan VOC di Belanda, yaitu De Heeren Zeventien, seketika melarang penerbitan surat kabar tersebut. Surat larangan dikirim dari Belanda pada November 1745 dan baru sampai di Batavia 20 Juni 1746.

"Dengan demikian, seraya menunggu izin, surat kabar tersebut sempat beredar selama dua tahunan," tulis Maskun.

Asep Saeful Muhtadi dalam "Pengantar Ilmu Jurnalistik" menulis surat kabar terbit silih berganti pada abad ke-19 pada masa penjajahan Inggris dan Belanda.

Ketika Inggris menguasai wilayah Hindia Timur pada 1811, terbit surat kabar berbahasa Inggris "Java Government Gazzete" pada 1812. Ketika Belanda kembali menguasai kawasan tersebut, surat kabar berbahasa Inggris tersebut dihentikan dan terbit "Bataviasche Courant" yang memuat berita-berita harian dan artikel-artikel pengetahuan.

"Bataviasche Courant" kemudian diganti menjadi "Javasche Courant" yang terbit tiga kali seminggu pada 1829 yang memuat pengumuman-pengumuman resmi, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah. Tahun yang sama, terbit pula sejumlah surat kabar di berbagai kota di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

Pada 1851, "De Locomotief" terbit di Semarang. Surat kabar ini memiliki semangat kritis terhadap pemerintahan kolonial dan pengaruh yang cukup besar. Salah satu wartawannya adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang setelah kemerdekaan berganti nama menjadi Danudirja Setiabudhi.

Cucu keponakan dari penulis kritis Belanda Eduard Douwes Dekker atau Multatuli itu bahkan ikut mendorong kebangkitan nasional karena kedekatannya dengan pemuda-pemuda yang kelak mendirikan Budi Utomo.


Pers Pribumi

Pada paruh kedua abad ke-19, untuk menandingi surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda, muncul surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa meskipun para redakturnya masih orang-orang Belanda seperti "Bintang Timoer" (Surabaya, 1850), "Bromartani" (Surakarta, 1855), "Bianglala" (Batavia, 1867), dan "Berita Betawie" (Batavia, 1874).

Pada 1907, terbit "Medan Prijaji" di Bandung yang dianggap sebagai pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali, yaitu Tirto Adhi Soerjo.

"Adhi Soerjo dikenal pula sebagai wartawan Indonesia yang pertama kali menggunakan surat kabar sebagai alat untuk membentuk pendapat umum," tulis Asep Saeful Muhtadi dalam "Pengantar Ilmu Jurnalistik".

Pers pribumi semakin tumbuh seiring dengan pergerakan nasional. Beberapa surat kabar yang bersifat nasional dan dinilai radikal antara lain "Oetoesan Hindia" (Surabaya, 1914) di bawah Sarekat Islam, "Neratja" (Batavia, 1917), "Boedi Oetomo" (Yogyakarta, 1920), "Sri Djojobojo" (Kediri, 1920), "Tjaja Soematra" (Padang, 1914), "Benih Merdeka" (Medan, 1919), "Hindia Sepakat" (Sibolga, 1920), "Oetoesan Islam" (Gorontalo, 1927) dan "Oetoesan Borneo" (Pontianak, 1927).

"Pers di Indonesia pada dasarnya terus berkembang dan digunakan sebagai alat perjuangan," tulis Asep.

Seiring peningkatan gerakan-gerakan politik radikal di Indonesia, terutama setelah 1920, jumlah surat kabar nasional semakin meningkat pesat dengan daerah penyebaran mencapai kota-kota kecil.

Di Bandung terbit "Sora Mardika" (1920), di Tasikmalaya terbit "Sipatahoenan" (1924), di Padang terbit "Soematra Bergerak" (1922), di Sibolga terbit "Tapanoeli" (1925), di Malang terbit "Soeara Kita" (1921), di Purworejo terbit "Soeara Kaoem Boeroeh" (1921), di Banjarmasin terbit "Soeara Borneo" (1926) dan di Garut terbit surat kabar berbahasa Sunda "Sora Ra'jat Merdika" (1931).

Pers Islam pun mulai tumbuh dengan penerbitan surat kabar "Pedoman Masjarakat" (Medan, 1935), "Pandji Islam" (Medan, 1934), "Perasaan Kita" (Samarinda, 1928), "Ra'jat Bergerak" (Yogyakarta, 1923).

Beberapa tokoh yang bisa dianggap berjasa merintis dunia pers Indonesia sekitar awal abad ke-20 antara lain Parada Harahap, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Abdul Muis dan Haji Agus Salim.

Beberapa tokoh pergerakan nasional Indonesia juga memanfaatkan surat kabar-surat kabar untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya yang mengarah pada kemerdekaan, seperti Muhammad Hatta, yang banyak menulis di "Daulat Ra'jat" terbitan Jakarta sekaligus menjadi pemimpin redaksi "Oetoesan Indonesia" terbitan Yogyakarta, dan Sukarno yang banyak menulis dan terlibat dalam penerbitan "Fikiran Ra'jat" di Bandung.

Zikri Fachrul Nurhadi dalam "Teori Komunikasi Kontemporer" menulis salah satu hal yang diperebutkan beberapa saat setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan.

Perebutan itu terjadi di perusahaan surat kabar milik Jepang seperti "Soeara Asia" (Surabaya), "Tjahaja" (Bandung) dan "Sinar Baroe" (Semarang). Hingga 19 Agustus 1945, 2605 surat kabar telah terbit dengan pemberitaan utama seputar proklamasi dan kemerdekaan Indonesia.

September hingga akhir 1945, pers nasional semakin kuat ditandai dengan penerbitan "Soeara Merdeka" di Bandung dan "Berita Indonesia" di Jakarta, serta beberapa surat kabar lain seperti "Merdeka", "Independent", "Indonesian News Bulletin", "Warta Indonesia", dan "The Voice of Free Indonesia".

"Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya," tulis Zikri Fachrul Nurhadi dalam "Teori Komunikasi Kontemporer".

Perkembangan pers nasional yang semakin pesat setelah proklamasi membuat para wartawan semakin sibuk memburu berita. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, para wartawan pun mengadakan kongres di Solo.

Pada 9 Februari 1946, disepakati pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan Mr Sumanang ditunjuk sebagai ketuanya.

Baca juga: Media dan tantangan teknologi abad milenial
Baca juga: Pers jangan lelah kritik pemerintah

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019