Jakarta (ANTARA) - Industri Film Indonesia, saat ini sudah berada pada masa keemasan dan senafas dengan tema Hari Film Nasional (HFN) ke-69 pada 2019 yaitu "Film Indonesia Keren"

"Film Indonesia berada pada masa paling gemilang. Tidak hanya dari segi penonton, film-film Indonesia sudah diakui dunia. Jadi, memang keren," ujar sutradara film nasional Joko Anwar kepada Antara di Jakarta, Jumat (29/3).

Pendapat serupa disampaikan pula oleh produser dan sutradara Garin Nugroho, yang mengatakan industri film Tanah Air telah berada pada kondisi terbaik di Indonesia.

"Industri film komersial bertumbuh, bahkan cukup banyak yang masuk lima besar box office. Angkanya di atas satu juta. Di sisi lain, film independen juga bertumbuh. Ini menjadi catatan penting di film Indonesia," kata Garin, kepada Antara, Sabtu.

Pertumbuhan film, lanjut Garin, juga sudah merata hingga ke pelosok-pelosok di Indonesia. Tapi, masih terjadi kelemahan pada tataran dasar yaitu sistem peraturan yang masih rapuh.

"Indonesia punya ciri yang cepat tumbuh, cepat krisis. Pertumbuhan cemerlang itu rapuh. Agar tidak rapuh, perfilman nasional perlu didukung sistem peraturan yang menghormati global dan melindungi lokal," ujar sutradara "Cinta dalam Sepotong Roti" itu.

Baca juga: Mengenang Bapak Film Nasional, Usmar Ismail

Catatan sineas

Sistem peraturan itu pertama terkait kuota impor. Garin meminta peraturan kuota impor harus ditinjau kembali. Kedua, organisasi film yang masih separuh jadi.

"Penciptaan bertumbuh subur, tapi tidak paralel dengan per-undang-undangan dan organisasi," ujarnya.

Bahkan pada titik tertentu, Garin melihat banyak sensor dari organisasi masyarakat (ormas) yang menjadi dilema bagi perfilman Indonesia.

"Pada aspek nilai kebebasan berpendapat terkait agama, kita mengalami kemunduran. Kendali terbesar bukan dari pemerintah, tapi ormas. Pemerintah malah tidak tegas," kata Garin.

Garin mengkhawatirkan kendali sensor film dari ormas di Indonesia dapat memundurkan kreativitas sineas dan berdampak pada kemunduran masa emas perfilm-an Indonesia.

Baca juga: Film Indonesia, tontonan dan tuntunan

Sementara itu, Joko Anwar melihat talenta yang minim menjadi tantangan di industri film. "Kurangnya kru film dan pemain yang punya skill," ujar dia.

Menurut sutradara "Pengabdi Setan" itu, kekurangan talenta berbakat film Indonesia disebabkan oleh kekurangan institusi pendidikan film di Indonesia, baik formal maupun non-formal.

"Bisa dihitung pakai jari jumlah sekolah film di Indonesia. Semuanya terfokus di Jakarta dan Jawa. Orang mau bikin film, demand terhadap film Indonesia semakin tinggi. Tapi, kru filmnya sampai rebutan, jadi kurang banget," kata Joko Anwar.

Joko mengatakan persoalan kekurangan sumber daya manusia film nasional dapat terselesaikan jika semua pemangku kepentingan dengan kemampuan dan kapasitas dalam pendidikan film dapat membuat pelatihan dalam bidang film.

"Pemerintah bisa membuat sekolah film atau bisa mendorong swasta untuk membuat sekolah film. Kementerian dan Bekraf bisa bikin pelatihan film dengan pengajar yang baik," ujar Joko Anwar.

"Bahkan, PH (rumah produksi) dibanding mereka membayar pekerja film yang engga punya skill, mending mereka membuat pelatihan atau inkubasi untuk menciptakan pekerja film yang punya skill dan akhirnya bisa mereka pekerjakan," ujarnya.

Baca juga: Rio Dewanto harapkan asosiasi film punya satu tujuan

Pewarta: Peserta SusdapeXIX/Arindra Meodia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019