Gianyar, Bali (ANTARA) - Wisatawan yang melancong ke Bali pastilah tidak akan melewatkan untuk menonton atraksi tari Barong yang menjadi salah satu ikon tari tradisional khas Pulau Dewata. Tari Barong berlakon Calonarang, tetap setia dipertontonkan kepada turis hampir setiap hari di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar.

Desa Batubulan, desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Gianyar dengan Kota Denpasar ini telah dikenal sejak puluhan tahun dengan wisata desanya berkat tari Barong.

Perbekel atau Kepala Desa Batubulan Dewa Gede Sumertha mengatakan, dari dokumen tahun 1937 yang dimiliki desa setempat, di sana disebutkan sekitar tahun 1930-an, pertunjukan tari Barong telah menjadi tontonan dari orang-orang Belanda yang lewat di salah satu pura di Desa Batubulan. “Sejak saat itu, desa kami menjadi dikenal dengan pengembangan seni budayanya,” ujar Sumertha.

Kreativitas masyarakat di bidang seni budaya di Desa Batubulan pada awalnya sangat didukung karena mayoritas warga bergerak di sektor agraris.“Dengan menjadi petani, warga menjadi punya lebih banyak waktu sehingga kreativitas seninya muncul, baik itu seni tari, seni lukis, seni gamelan, dan seni ukir,” tutur pria kelahiran 31 Desember 1957 itu.

Desa yang berjarak sekitar sembilan kilometer dari Kota Denpasar itu memiliki lima “stage” yang posisinya tersebar untuk mementaskan tari Barong setiap hari. Satu “stage” yang cukup terkenal dan ramai dikunjungi wisatawan terletak di depan Pura Puseh Desa Batubulan.

Pementasan Barong untuk kepentingan pariwisata dimulai sekitar tahun 1960-an hingga saat ini. Belakangan, rata-rata sekitar 125 orang wisatawan mancanegara maupun domestik yang menyaksikan tari Barong untuk setiap panggung pementasan.Setiap turis asing harus merogoh kocek 10 dolar AS, sedangkan bagi wisatawan domestik biasanya ada kontrak dengan nominal tertentu untuk jumlah penumpang dalam satu bus rombongan.

Tari Barong yang dipentaskan, akan menampilkan sosok Barong dan Rangda sebagai simbolis pertarungan antara kebajikan dan kebatilan, selain itu akan diwarnai dengan adegan lucu dari sosok kera dan juga tokoh “celuluk” serta sejumlah punakawan. Yang biasanya cukup membuat penonton tegang, pada bagian pementasan yang terakhir ketika sejumlah pemain dengan keris terhunus, menancapkan ujung kerisnya ke tubuh masing-masing dalam keadaan trans atau kerasukan.

“Pentas Barong di Batubulan masih tetap bertahan hingga saat ini berkat promosi dari mulut ke mulut, dan sejumlah biro perjalanan memang menjadikan acara nonton Barong sebagai bagian dari paket wisatanya,” ucapnya.

Dimasukkan menjadi bagian paket wisata karena memang posisi Batubulan yang strategis berada di jalur lintas menuju kawasan wisata di Kawasan Bali Timur, Bali Tengah dan Bali Utara.

Dari pentas tari Barong yang masih lestari dan dipentaskan rutin hingga saat ini, menurut Sumertha telah memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat Batubulan.

Tak saja bagi para senimannya yang terlibat langsung (penari dan penabuh gamelan) juga bagi masyarakat yang menjajal peruntungan dengan menjadi pedagang acung ataupun usaha lainnya di sekitar lokasi pementasan.

Meskipun masih rutin ditarikan dari pukul 09.30 hingga 10.30 setiap harinya, Sumertha menyimpan kekhawatiran akan nasib kesenian Barong di desa setempat karena mayoritas pelaku seninya itu mereka yang sudah tidak muda lagi.

“Penari barong lebih banyak tua-tua, sekitar sepertiganya saja anak-anak muda.Generasi muda Batubulan kini lebih melirik sektor jasa pelayanan, industri dan maupun berwirausaha, dan jarang pula yang mau melirik sektor pertanian,” ujarnya.

Masih terkait bidang seni, warga dari Desa Batubulan pada awal 1970-an juga terkenal menjadi pelopor kelompok-kelompok seni yang pentas di hotel-hotel. Desa setempat saat itu memiliki 18 kelompok seni yang kerap membawakan tari Sendratari modern, Joged Bumbung, Sendratari Ramayana, tari Barong dan sejumlah tari tradisional Bali lainnya.

Batubulan masih mendominasi suguhan hiburan seni ke sejumlah hotel di Kawasan wisata Kuta dan Nusa Dua, Kabupaten Badung hingga menjelang tahun 2000-an, sebelum akhirnya jumlah kelompok seni menyusut karena mendapat saingan kelompok-kelompok seni dari daerah lain di luar Batubulan.
Kepala Desa Batubulan Dewa Gede Sumertha (ANTARA/Ni Luh Rhismawati)


Padat Penduduk

Desa Batubulan rupanya tak hanya fokus di bidang seni, hal ini dibuktikan dengan sejumlah prestasi yang telah ditorehkan. Desa yang berada di sisi paling barat Kabupaten Gianyar itu pernah menyabet Juara I dalam Lomba Desa tingkat Kabupaten Gianyar pada 2014, kemudian meraih Juara III dalam Lomba Desa tingkat Provinsi Bali pada tahun yang sama.

Selanjutnya, pada 2015, Batubulan menjadi pemenang untuk lomba Posyandu tingkat Provinsi Bali. Untuk di tingkat nasional, Batubulan pun tak dapat dipandang sebelah mata karena pada 2012 menjadi Juara I tingkat Nasional untuk penilaian Kelompok Sadar Wisata.

Meskipun berhasil meraih sejumlah prestasi yang membanggakan, Desa Batubulan bukan berarti tidak menghadapi tantangan. Menurut Sumertha, tantangan yang utama dari sisi kepadatan jumlah penduduk karena termasuk dalam desa yang terpadat di Kabupaten Gianyar.

Dengan luas wilayah sekitar 6,44 kilometer persegi, Batubulan memiliki penduduk sebanyak 22.754 jiwa dari 5.522 kepala keluarga. Desa dengan topografi dataran rendah yang berada di Kecamatan Sukawati, Gianyar, tersebut terdiri dari 16 banjar (dusun).

“Tantangan kami dengan jumlah penduduk yang banyak seperti ini terutama soal tertib administrasi kependudukan,” ujar Sumerta yang juga pensiunan PNS itu.

Pihak desa dengan total jumlah personel 13 orang (termasuk kepala desa) setiap harinya melayani hingga 30 surat keterangan yang berimplikasi hukum. Bahkan belum setengah hari saja, kadang sudah delapan orang yang mengajukan Izin Mendirikan Bangunan.

Untuk satu permohonan IMB, lanjut dia, penanganannya bisa berhari-hari karena harus mengecek langsung ke lapangan dan memastikan para penyanding agar jangan sampai terjadi persoalan di kemudian hari.

“Kan siapa tahu ada yang kesulitan untuk mencari penyanding, lalu ditandatangani sendiri oleh yang mengajukan IMB,” ucapnya.Di samping itu, ada juga warga yang mengaku rencana membangun rumah satu lantai, tetapi ujung-ujungnya rumah yang dibangun dua lantai.Hal-hal seperti ini bisa memunculkan masalah antarwarga, apalagi jika penyanding itu rumahnya tidak bertingkat dan posisi bangunan sucinya juga di bawah.

Persoalan lainnya dari sisi infrastruktur yakni dengan wilayah desa yang luas, tetapi akses jalan dengan kondisinya banyak yang sempit. Bahkan, kata Sumertha, ada satu gang di Desa Batubulan yang lebarnya hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat, sementara di gang tersebut ada 275 kepala keluarga.

“Bayangkan kalau sampai ada rumah di ujung gang yang terbakar, bagaimana pemadam kebakaran akan masuk untuk memberikan pertolongan,” katanya.Tantangan berikutnya terkait mengenai pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan terutama saat musim penghujan.

Anggaran Rp5,77 Miliar

Guna mendukung berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di Desa Batubulan, untuk tahun 2019 dialokasikan anggaran mencapai Rp5,77 miliar lebih.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sebesar itu, sumber pendapatannya diantaranya dari Dana Desa sebesar Rp855,21 juta, Alokasi Dana Desa (Rp1,20 miliar), Bagi Hasil Pajak (Rp1,51 miliar), Bagi Hasil Retribusi (Rp260,85 juta), Bantuan Keuangan Khusus (Rp1,80 miliar), BKK Kabupaten (Rp63 juta), Pendapatan Asli Desa (Rp35 juta) dan Pendapatan Lain-Lain (Rp40 juta).

Peruntukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Batubulan tersebut jika dibagi untuk masing-masing, yang terbesar atau sekitar 40 persen (Rp2,32 miliar) dimanfaatkan di bidang pembinaan kemasyarakatan, kemudian bidang penyelenggaraan pemerintahan desa sebesar 36 persen (Rp2,06 miliar),

Selanjutnya sebesar 20 persen untuk bidang pelaksanaan pembangunan desa (Rp1,14 miliar), bidang pemberdayaan 3,8 persen (Rp222,9 juta) dan sisanya untuk bidang penanggulangan bencana atau keadaan darurat dan mendesak (Rp10 juta).

Desa Batubulan juga memiliki keistimewaan di bidang pendidikan karena mengelola dua sekolah, yakni SMP Sila Chandra dan juga SMK Pariwisata Sila Chandra. “Sehingga jangan heran kalau setiap perayaan Hari Kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus, desa kami juga menggelar apel bendera, lengkap dengan Paskibrakanya,” ucapnya.

Paskibraka yang bertugas itu sebelumnya juga telah melalui proses seleksi dan mendapatkan gemblengan dari pihak-pihak terkait, termasuk dilakukan pengukuhan layaknya seperti Paskibraka Daerah.

Yang tak kalah menarik, setiap tahun, Desa Batubulan menggelar Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) yang berlangsung dengan meriah. Porseni ini diikuti berbagai kelompok usia dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Terkait dengan pelestarian tradisi, dalam Porseni biasanya berisi lomba baleganjur, lomba pakaian adat ke pura, lomba membuat penjor, lomba melukis dan sebagainya.

Untuk bidang seni pun tak melulu melombakan tari-tari tradisi, juga melombakan “dance” kekinian yang biasanya peserta itu dari ibu-ibu PKK. “Kegiatan Porseni yang digelar setiap bulan Agustus itu, diawali dengan pawai budaya yang berlangsung semarak, tak kalah dengan pawai budaya di tingkat kabupaten,” ujar Dewa Sumertha.

Program Kesehatan

Berbagai inovasi telah dilakukan Desa Batubulan untuk memajukan daerah setempat, sekaligus membawa masyarakatnya lebih sejahtera. Dewa Sumertha mencontohkan penggunaan dana desa yang telah dimanfaatkan untuk program kesehatan, penataan pasar kuliner yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), hingga pemasangan paving pada sejumlah gang di wilayah Batubulan.

“Penggunaan dana desa dari tahun ke tahun telah diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi hanya untuk dua bidang saja, yakni untuk pembangunan dan pemberdayaan,” ucapnya.

Oleh karena itu, pihaknya kemudian memprioritaskan penggunaan dana desa untuk penataan pasar kuliner dan kebutuhan dasar masyarakat di bidang kesehatan.

Khususnya di bidang kesehatan, program inovasi yang telah dilakukan dengan pencanangan Gerakan Masyarakat Pemberantasan Sarang Nyamuk (Geram PSN) pada April 2016 yang dirangkaikan dengan pembentukan kader PSN di masing-masing banjar (dusun) sebanyak 3 orang dari 18 banjar termasuk banjar tempekan.

Sebelum turun ke masyarakat, semua kader PSN diberikan penyegaran terhadap kemampuan kader untuk melaksanakan tugas di lapangan. “Kader tidak saja memantau keberadaan jentik di masing-masing rumah, juga dibekali dengan pengetahuan tambahan bagaimana masyarakat teredukasi dalam menjaga kebersihan lingkungan melalui 3M dan selalu melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) karena ini menyangkut modal dasar untuk menjaga kesehatan.

Masih di bidang kesehatan, dana desa juga digunakan untuk mendukung kegiatan 20 Posyandu berupa pemberian makanan tambahan (PMT) kepada balita, untuk mengantisipasi balita yang sampai stunting.

Sementara itu, inovasi di bidang pembangunan dari pemanfaatan dana desa telah digunakan untuk pemasangan paving pada sejumlah gang di wilayah Batubulan.

"Kami juga manfaatkan penataan lingkungan pasar kuliner desa yang dikelola oleh BUMDesa Sila Chandra Batubulan,” katanya.
 
Arsip Foto. Kenalkan Budaya Bali Dua orang penari memainkan tarian barong di Bali Classic Centre (BCC), Ubud, Gianyar, Bali, Minggu (11/3). Di BCC pengunjung dikenalkan pada kesenian dan adat istiadat Bali. (FOTO ANTARA/Seno S.)


Pertahankan Subak

Perkembangan zaman dan era global serta meningkatnya kebutuhan lahan permukiman, mau tidak mau telah berpengaruh pada kehidupan warga Batubulan yang awalnya bergerak di sektor agraris.Tak jauh berbeda dengan daerah lainnya, warga Batubulan telah banyak meninggalkan profesi sebagai petani.

Menurut Kepala Desa Batubulan Dewa Gede Sumertha, lahan pertanian di desa itu kini yang tersisa hanya tinggal sekitar 210 hektare. Itupun tersebar lokasinya ada di bagian selatan, timur dan barat laut desa.Lahan pertanian yang tergolong utuh ada di sisi barat laut desa.

Mengapa di sisi barat laut Desa Batubulan lahan pertaniannya utuh?Penyebabnya karena telah ada dasar berupa “perarem” atau kesepakatan dari warga subak untuk tidak mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi bangunan. Boleh saja menjual tanah pertanian, asalkan tetap dipertahankan sebagai sawah. Dengan adanya “perarem” tersebut, lahan sawah yang luasnya sekitar 44 hektare di daerah itu bisa tetap dipertahankan, dengan hasil produksinya berupa padi.

Suami dari Gusti Agung Sri Widyawati ini tidak memungkiri penyebab warga Batubulan meninggalkan sektor pertanian karena mungkin menjadi petani tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan.

Penghasilan yang diperoleh tidak tetap, belum lagi adanya ancaman berbagai penyakit tanaman yang berdampak merugikan hasil panen.Oleh karena itu, warga Desa Batubulan kini lebih banyak yang bekerja di sektor jasa, dengan membuka usaha sendiri ataupun bekerja di instansi swasta.

Sebagai salah satu desa seni, Batubulan juga terkenal sebagai salah satu pusat kerajinan batu padas.“Sekarang masih ada tiga sentra kerajinan batu padas,” kata Sumertha yang menjabat sebagai kepala desa sejak 24 Mei 2013.

Batu padas yang dijadikan kerajinan, bukanlah berasal dari galian C tetapi para perajin merekayasa campuran pasir, semen, dan sisa-sisa paras yang dibentuk menjadi sejumlah patung. Warga Batubulan pun ada yang menggeluti usaha menjual rumah ukiran Bali untuk dijual ke luar daerah, selain ada sejumlah warga yang menggeluti profesi sebagai perajin perhiasan perak dan seni lukis.

Baca juga: Nagari Baringin bangun desa dengan semangat gotong-royong

Baca juga: Rambipuji berinovasi menuju desa wisata
​​​​​​​

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019