Jakarta (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengundang Presiden Joko Widodo merayakan hari ulang tahun ke-20, sekaligus mengajaknya berdialog sambil merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) pada 9 Agustus mendatang.

“Akan ada dialog dengan pemerintah. Kami mengundang Presiden, untuk membuka sekaligus berdialog. Kita upayakan beliau hadir,” kata Ketua Panitia perayaan HUT ke-20 AMAN Mina Susana Setra di Jakarta.

AMAN merayakan HUT ke-20 sekaligus HIMAS 2019 dengan menggelar berbagai kegiatan pada 9-11 Agustus di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan mengusung tema “Meneguhkan Tekad, Memperkuat Akar, Mengedepankan Solusi”.

Mina mengatakan masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN ingin berdialog, ingin mencari tahu apa rencana pemerintah di periode pemerintahan selanjutnya.

Bupati, Kementerian Negara, kedutaan besar negara sahabat di Jakarta, perwakilan PBB, akan diundang. Mereka akan merayakan milad AMAN, sekaligus menyaksikan penyerahan peta wilayah adat seluas 10,3 juta hektare (ha) yang berhasil dipetakan sejauh ini dan biografi 20 tahun AMAN.

Malam pagelaran budaya dari masyarakat adat, menurut Mina, juga disiapkan. Yang di kemudian hari akan dilanjutkan dengan berbagai aktivitas seperti, workshop valuasi ekonomi wilayah adat, pengenalan lovelihoods masyarakat adat, sosial media anak-anak adat, kesenian perempuan.

Pemutaran film terkait masyarakat adat, yang juga diproduksi bersama masyarakat adat menjadi salah satu acara yang disiapkan. Pameran produk-produk masyarakat adat, musik, kuliner nusantara, bengkel seni juga akan dilakukan untuk merayakan 20 tahun AMAN.

“Makanan tradisional dimasak langsung oleh Ibu-ibu dan bapak yang khusus datang dari kampung. Lalu ada 20 komunitas akan masak khusus menggunakan bambu yang mereka bawa sendiri dari kampungnya,” ujar Mina.

AMAN, menurut dia, memang ingin mengangkat makanan khas Nusantara yang kaya bumbu khas, berasal dari tanah dan hutan-hutan adat mereka. Keberadaan menu-menu khas Nusantara yang biasa dimasak oleh masyarakat adat ini tentu sangat bergantung dengan keberadaan hutan dan lahan mereka.

Mereka juga akan membawa permainan-permainan tradisional dari kampung yang sudah tidak dimainkan di kota. Band masyarakat adat dari Indonesia akan bergabung dengan masyarakat adat dari Taiwan untuk tampil. “Tentu saja akan ada ritual adat pada tanggal 9 Agustus pagi. Pada tanggal 11 akan ada pemotongan kurban bersama, kita sediakan hewan kurban di TIM,” ujar dia.

Mina mengatakan AMAN mengundang anak-anak sekolah untuk datang tanpa harus menggunakan undangan. Karena akan ada berbagai workshop yang menarik untuk mereka, mulai dari cara membuat gelang anyaman, tenun dan produk-produk masyarakat adat lainnya.

Para blogger dan vloger pun dapat hadir, karena banyak sekali tokoh adat yang juga hadir di rangkaian acara HUT AMAN ini yang bisa diwawancara.

Seluruh rangkaian acara ini, menurut Mina, setidaknya akan melibatkan dan dihadiri oleh sekitar 1.500 orang yang berasal dari perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai wilayah nusantara, perwakilan Masayarakat Adat dunia dari berbagai negara, pemerintah nasional dan daerah, para penggiat seni, organisasi-organisasi pendukung dan mitra, sekolah-sekolah adat dan lain-lain.

 

Kembali ke akar bangsa

Setelah 20 tahun, ujar Mina, AMAN menghadapkan badan kembali ke kampung. Karena akar budaya masyarakat adat yang merupakan akar bangsa juga ada di sana.

“Ini visi pemerintah juga yang mau memperkuat kampung dan desa. Serta memperkuat dengan cerita sukses masyarakat adat di desa,” lanjutnya

Hal ini yang masih perlu diungkap lebih banyak juga oleh media, perihal kesertaan masyarakat adat menjaga hutan-hutannya sehingga membantu mengendalikan perubahan iklim, lalu pemanfaatan teknologi-teknologi mereka yang merupakan bentuk kearifan lokal, dan seterusnya. “Ini yang di dunia juga sedang menyuarakannya,” ujar Mina.

Direktur Eksekutif REKAM Nusantara Foundation Een Irawan Putra mengatakan pemikiran jauh ke depan dari masyarakat adat yang menjaga alamnya akan menyelamatkan semuanya. Tidak semua sadar betapa besarnya nilai ekonomi dari alam yang mereka jaga selama ini.

Bukti nyata cukup banyak sudah mereka tunjukkan, contohnya di Pegunungan Arfak, Papua Barat, mereka menjaga kelestarian cendrawasih. Dari sana, satu kampung bisa menghasilkan setidaknya Rp50 juta dalam beberapa hari dengan melayani tamu-tamu yang datang untuk melihat cendrawasih, ujar Een.

Itu pula yang terjadi di Lembata dan Solor, Nusa Tenggara Timur, saat masyarakat adat setempat menjaga lautnya. Valuasi ekonomi dari keteguhan menjaga alam di tengah bencana ekologis, perubahan iklim, kemiskinan masif ini diabadikan dalam 20 film-film dokumenter yang delapan di antaranya mereka garap sendiri.

Menurut Een, penyadaran publik tentang keberadaan dan keberhasilan mereka menjaga alam yang memiliki valuasi ekonomi tinggi harus dilakukan bersama. Dan saat tulisan tentang mereka sulit dipahami, maka kampanye melalui film-film dokumenter sangat pas.

“Kami berharap film ini bisa dilihat, sehingga anak Jakarta juga tertarik dengan keberadaan masyarakat adat. Para pembuat film diundang dan bisa cerita langsung ke media. Pemutaran selama tiga hari dilakukan di Teater Kecil, TIM,” kata Een.

 

UU Masyarakat Adat

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan saat ini nasib masyarakat adat di wilayah Nusantara masih terpinggirkan secara politik dan ekonomi. Padahal masyarakat adat sudah ada sejak Indonesia belum lahir, dan kini keberadaannya sangat penting untuk solusi berbagai persoalan bangsa dan dunia, seperti menghadapi ancaman perubahan iklim.

Kondisi masyarakat adat tersebut menjadi salah satu soroton saat Perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) pada 9 Agustus, sekaligus merayakan 20 tahun AMAN nanti, kata Rukka.

Selama 20 tahun perjuangan AMAN telah terjadi banyak perubahan. Ada kemenangan-kemenangan kecil dan besar yang patut dicatat, ada pencapaian, dan penghargaan dari berbagai pihak baik di nasional, daerah, regional serta internasional.

“Namun masih banyak tantangan yang harus kita hadapi sama-sama, salah satunya agar masyarakat adat di Nusantara tidak terpinggirkan secara politik dan ekonomi,” katanya.

Menurut Rukka, sampai saat ini pemerintah belum menunjukkan komitmen yang serius untuk segera menghadirkan undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat secara komprehensif.

Tumpang tindih Undang-Undang sektoral menyebabkan perlindungan hak-hak masyarakat adat belum maksimal dan perampasan wilayah-wilayah adat yang berujung pada konflik masih terus terjadi.

Perkembangan pembangunan yang masih berorientasi pada peningkatan ekonomi makro mempengaruhi juga eksistensi, identitas dan ketahanan dari tatanan kehidupan komunitas-komunitas adat. Pengembalian wilayah adat pun masih terbatas hanya hutan adat saja, belum menyentuh pengembalian wilayah adat secara utuh.

“Saat ini kehidupan komunitas-komunitas adat sangat berperan penting untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, melalui kelestarian hutan adat dan wilayah adat. Jadi dalam situasi sekarang ketika terjadi krisis iklim global, maka jawabannya itu ada di komunitas masyarakat adat,"  kata Rukka.

Karena itu, ia mengatakan momentum 20 tahun AMAN yang bertepatan dengan perayaan HIMAS 2019 sangat penting untuk membangun kesadaran sosial secara lebih luas tentang hak-hak masyarakat adat, sekaligus mendorong pemerintah mengambil langkah yang diperlukan dalam merespon situasi Masyarakat Adat di Indonesia yang sudah lama terpinggirkan secara politik dan ekonomi, serta terabaikan dari proses-proses keadilan.*

Baca juga: AMAN: perdebatan capres soal impor beras harusnya sudah tidak ada

Baca juga: Aman: RUU Masyarakat Adat langkah progresif selamatkan bangsa


Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019