Sekarang kami sedang melakukan riset, bagaimana menerapkan social VR. Misalnya, kami pasang perangkat lunaknya di ruangan A dan B yang berbeda lokasi. Lalu masing-masing pemain bisa berinteraksi di dunia virtual, sehingga memungkinkan kolokasi. Sehin
Indriani (ANTARA) - Pernahkah anda membayangkan saat belajar mengenai kehidupan dinosaurus, tidak hanya sekadar melalui gambar, melainkan langsung melihat kehidupan dinosaurus pada masanya.

Atau, pernahkah melihat film sains fiksi, The Matrix, yang mana saat tokoh utamanya Neo (diperankan Keanu Reeves) masuk ke dunia virtual. Teknologi itu dinamakan "Virtual Reality" (VR) atau realitas maya.

Atau masih ingatkah anda bagaimana Tony Stark (diperankan Robert Downey Jr), dalam film Iron Man, merancang kostumnya dengan tampilan hologram. Teknologi tersebut dinamakan "Augmented Reality" (AR) atau realitas bertambah.

Saat ini, teknologi AR/VR tidak lagi hanya bisa dinikmati melalui layar kaca, melainkan bisa dirasakan secara langsung. Salah satu putra terbaik Indonesia yang yang ahli teknologi itu yakni Markus Santoso PhD yang saat ini menjabat sebagai asisten profesor di University of Florida, Amerika Serikat.

Pria kelahiran Surabaya pada 1982 itu, terlibat dalam sejumlah proyek mengenai teknologi AR/VR. Misalnya saja, saat ia mengikuti program postdoktoral keduanya di Lindsay Virtual Human Lab di University of Calgary, Kanada. Dia mengerjakan implementasi AR untuk ilustrasi anatomi
manusia, pendidikan kedokteran, dan fisiologi komputasi.

"Kalau di sekolah kedokteran, mahasiswanya untuk mempelajari anatomi ataupun operasi harus menggunakan mayat asli, namanya kadaver. Itu harganya mahal," ujar Markus saat ditemui usai penutupan Simposium Cendikia Kelas Dunia (SCKD) di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: British Airways akan uji layanan hiburan berbasis VR

Baca juga: "Test drive" mobil virtual kini bisa lewat platform e-commerce


Dia menjelaskan jumlah mahasiswa kedokteran di University of Calgary pada saat itu, ada 500 mahasiswa. Sedangkan jumlah meja untuk melakukan penelitian itu hanya enam. Mahasiswa harus menunggu lama hingga mendapat giliran dan saat tiba giliran agak takut-takut, karena belum memiliki pengetahuan dan organ yang ada tidak bisa kembali seperti semula kalau ada kesalahan.

"Kami bikin aplikasi virtual kadaver, saat dibaringkan pada meja atau bidang apapun maka akan muncul virtualnya. Mahasiswa bisa mempelajari dari situ dulu, sebelum bermain dengan kadaver asli," kata dia.

Dengan virtual kadaver itu, sangat efesien dan efektif. Pihaknya saat mengerjakan aplikasi itu, meniru sekolah pilot yang mana calon pilot belajar dulu melalui simulator sekian ribu jam sebelum menerbangkan pesawat.

Di University of Florida, Markus juga memiliki proyek dalam teknologi VR dengan berafiliasi dengan departemen neurologi kampus itu, untuk menangani pasien yang menderita parkinson dan toraks. Khusus untuk parkinson, banyak diderita pasien usia lanjut.

"Salah satu gangguannya pada parkinson adalah freeze atau ketidakmampuan bergerak. Pemicunya ada berbagai macam, misalnya pergantian tekstur lantai dari karpet ke ubin, atau pergantian suasana ruangan yang sangat ekstrim sehingga terjadi gangguan pada otak," ujarnya.

Masalahnya, rata-rata pasien di rumah sakit itu harus menempuh 5-6 jam berkendara dari rumah. Saat di rumah sakit, ruangan-ruangannya terkontrol sehingga tidak menyebabkan pasien menyebabkan freeze. Gangguan itu banyak muncul saat di rumah dan saat di rumah sakit tidak muncul, sehingga dokter kesulitan mempelajari apa penyebab terjadinya kekakuan tersebut.

Solusinya dengan menggunakan teknologi VR, yang mana pasien hanya menggunakan headset dan ditanya apa pemicunya. Misalnya kalau pemicunya warna hijau, maka pihak rumah sakit tidak perlu mengecat dinding tapi cukup menggunakan peralatan VR tersebut.

"Kalau ternyata penyebabnya lukisan, maka rumah sakit tidak perlu beli lukisan cukup dengan teknologi VR. Kalau ternyata satu lukisan tidak muncul gejalanya, ditambah dua lukisan dan seterusnya," kata lulusan sarjana desain komunikasi visual Universitas Kristen Petra Surabaya itu.

Teknologi AR dan VR termasuk ke dalam bagian dari tiga dimensi, yang mana mengaburkan batasan antara dunia nyata dengan dunia digital atau dunia simulasi. Teknologi AR berusaha untuk menampilkan visual konten di dunia nyata. Sedangkan teknologi VR berusaha memasukkan real user ke lingkungan virtual.

"Keduanya masuk dalam teknologi imersif (yang mengaburkan batasan antara dunia nyata dan dunia maya), tapi berbeda," ucap dia lagi.

Baca juga: Volvo gandeng startup Varjo ciptakan VR pengujian mobil otonom

Baca juga: Kovee VR targetkan 30 persen konten Indonesia

 

Bekfest 2018 sebagai ajang pdkt pelaku industri dan konsumen



Masa depan

Markus menjelaskan teknologi AR dan VR merupakan teknologi masa depan. Ia sedang merancang teknologi VR bagaimana pasien parkinson tidak perlu lagi datang ke klinik untuk mengetahui penyakitnya.

"Sekarang kami sedang melakukan riset, bagaimana menerapkan social VR. Misalnya, kami pasang perangkat lunaknya di ruangan A dan B yang berbeda lokasi. Lalu masing-masing pemain bisa berinteraksi di dunia virtual, sehingga memungkinkan kolokasi. Sehingga terapis dan pasien tinggal pake headset lalu bertemu virtual," kata dia.

Markus Santoso menjadi asisten profesor di University of Florida sejak Juli 2018. Fokus penelitiannya tentang Augmented dan Virtual Reality, Wearable Technologies, NUI, UX / UI, dan Serious-game Development.

Ia lulus program doktor dari Universitas Dongseo, Korea Selatan pada tahun 2013. Setelah lulus program doktoral, ia berniat pergi ke Erfurt, Jerman, untuk mengikuti Postdoctoral Fellow di Fraunhofer IDMT yang didanai oleh European Research Consortium for Informatics and Mathematics (ERCIM).

Untuk mengikuti program itu, ia harus bersaing dengan lebih dari 300 doktor di seluruh dunia; hanya 24 aplikasi yang disetujui dan ia adalah salah satu dari 24 doktor terpilih.

Sejumlah prestasi diraihnya seperti pemenang kedua dan ketiga dalam SuperApp Korea 2012. Salah satu Aplikasi AR Mobile-nya terpilih sebagai nominasi untuk kategori Unity Developer Choice di Vuforia Vision Award 2015 yang diselenggarakan oleh QUALCOMM. Kemudian "Career Development Internal Awards" pada 2018, pemenang kedua Wave Hololens Developer program by Microsoft, dan lainnya.

Melalui program SCKD 2019 ini, ia berharap dapat berkolaborasi dengan peneliti dari Tanah Air untuk melakukan penelitian bersama dalam mengembangkan AR/VR.

Selain itu, dia juga berharap bisa menggunakan teknologi AR dan VR dalam konteks Indonesia, misalnya menggunakan teknologi itu meningkatkan produksi padi. Ia mengaku sangat senang jika hal tersebut dapat terwujud.*

Baca juga: Arena bermain VR pertama di Jakarta resmi dibuka

Baca juga: Era pabrik cerdas bakal serap lebih banyak tenaga kerja

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019