...tingginya angka stunting adalah cerminan ketidaksetaraan sosial dan hal ini berkaitan erat dengan demokratisasi...
Jakarta (ANTARA) - The Habibie Center menawarkan tujuh terobosan kebijakan kepada Pemerintah Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin untuk mengatasi masalah stunting atau kondisi tinggi badan yang jauh di bawah standar usia seharusnya akibat kekurangan gizi kronis.

Associate Fellow di The Habibie Center Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie, M.M, di Jakarta, Jumat mengatakan tingginya angka stunting adalah cerminan ketidaksetaraan sosial dan hal ini berkaitan erat dengan demokratisasi.

“Maka dari itu, The Habibie Center menyampaikan 7 rekomendasi terkait penanganan stunting,” katanya.

Tujuh teroboaan yang dimaksud yakni pertama penimbangan dan pengukuran balita setiap bulan di Posyandu, dan kedua dibutuhkan kelengkapan alat ukur sesuai standar WHO, kemudian ketiga pengesahan revisi PMK Antropometri Anak untuk deteksi tumbuh kembang balita.
Baca juga: Peneliti: Ciptakan kebijakan pangan murah untuk atasi stunting

Keempat memperbaiki buku KIA untuk memperbaiki pola MPASI dengan protein hewani dan pemberian bantuan protein hewani termasuk susu untuk keluarga dengan balita.

Keenam pelatihan dokter, bidan, ahli gizi, dan kader untuk mendeteksi stunting dengan intervensinya serta penyediaan PKMK untuk kondisi yang menyebabkan stunting seperti gizi buruk, gizi kurang, gagal tumbuh, alergi, prematur, sampai kelainan metabolik.

Adapun ketujuh adalah meningkatkan anggaran intervensi gizi spesifik dalam anggaran stunting bukan hanya 30 persen tetapi misalnya 50:50, ujar Widya.

Pihaknya juga menekankan keterlibatan sumbangsih pemikiran dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan untuk berkomitmen mempercepat pencapaian penurunan angka prevalensi stunting nasional.
Baca juga: Akademisi: Pemberian gizi tepat dapat cegah kekerdilan sejak dini

“Tugas kita bersama untuk mengawal implementasi prioritas alokasi anggaran untuk menyediakan intervensi gizi spesifik, termasuk suplementasi ini. Dengan anggaran yang efektif, akan semakin banyak anak yang tertolong dan mendapatkan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal dan sehat melalui penanganan gizi yang tepat,” kata Dr. Widya.

Pencegahan stunting menjadi agenda besar pemerintah di bidang kesehatan, terlebih pasca Presiden Joko Widodo mendesak penanggulangan stunting dan imbauan untuk fokus kepada hasil pada pengenalan kabinet Indonesia Maju awal bulan lalu.

Tingkat prevalensi stunting sebesar 30,8 persen Indonesia (Riskesdas 2018) menunjukkan perlunya lebih banyak upaya efektif yang dilakukan guna menanggulangi masalah tersebut.

Prof. Dr. dr. Damayanti R. Syarif, SpA. (K) Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, FKUI RSCM, menjelaskan, untuk mencegah stunting, diperlukan pemantauan status gizi yang benar, tata laksana rujukan berjenjang, hingga intervensi gizi.
Baca juga: Pemerintah jadikan Habibie Award ajang tahunan nasional

“Selain permasalahan asupan nutrisi, kondisi penyakit tertentu dapat meningkatkan risiko stunting karena dapat mempengaruhi peningkatan kebutuhan nutrisi maupun kemampuan anak menyerap nutrisi yang dikonsumsi. Dalam kondisi seperti ini, anak membutuhkan intervensi gizi yang memang sudah terbukti dapat memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan anak,” katanya,

Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center Prof. Dr. Sofian Effendi mengatakan menjadi tugas bersama untuk menjaga anggaran kesehatan sebesar 5,2 persen dari APBN sebesar Rp220 triliun sehingga akan bisa menghasilkan kondisi kesehatan masyarakat yang baik.

“Kebijakan publik perlu diintervensi dengan semangat demokratisasi, sehingga implementasi dalam bidang kesehatan sangat diperlukan,” ujarnya.

Inti Mudjiati, Kasubdit Penanggulangan Gizi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, menyatakan, pertengahan tahun ini, Kementerian Kesehatan telah mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi pada Anak Akibat Penyakit.

“Permenkes ini mengatur mengenai Pangan Olahan untuk Kondisi Medis Khusus (PKMK) yang diprioritaskan untuk anak dengan risiko tinggi gagal tumbuh seperi gizi kurang, gizi buruk, prematur, alergi, hingga kelainan metabolik lainnya untuk mencegah stunting,” katanya.

Peraturan ini kata dia, adalah upaya terobosan pencegahan stunting, dan membutuhkan pembahasan lebih lanjut mengenai sasaran dan pembiayaan untuk mendorong implementasinya.
Baca juga: Menkes Terawan tegaskan stunting dan JKN jadi perhatian di HKN

Penggunaan PKMK sebagai tata laksana intervensi gizi spesifik bukan tanpa alasan. PKMK adalah pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai manajemen diet bagi anak dengan penyakit tertentu.

Selain merupakan alternatif nutrisi sumber protein hewani yang padat nutrisi dan dapat dikonsumsi dengan mudah oleh anak, intervensi melalui PKMK yang sudah teruji dapat meningkatkan pertumbuhan anak.

Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Subandi menuturkan terdapat dua prioritas utama di bidang kesehatan yang sudah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024.

Dua prioritas yang dimaksud yaitu penurunan angka kematian ibu dan penurunan prevalensi stunting.

“Kami memiliki target yang cukup ambisius untuk menurunkan stunting hingga 19 persen pada tahun 2024 dan hal ini perlu diikuti dengan intervensi yang konvergen. Jika tidak, potensi kerugian ekonomi setiap tahunnya akibat stunting adalah 2-3 persen dari GDP,” katanya.

Stunting adalah kondisi yang bersifat irreversible, atau tidak dapat diperbaiki setelah anak mencapai usia dua tahun.

Jika terdeteksi penurunan berat badan (weight faltering), anak harus segera ditangani secara medis agar dokter dapat mencari penyebab kondisi tersebut dan solusinya.
Baca juga: Untuk samai GHI negara maju, legislator sebut butuh 84,5 tahun

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019