Jakarta (ANTARA) -- Kondisi normal baru mendorong pemerintah untuk beradaptasi dengan situasi pascapandemi Covid-19, khususnya sektor energi baru terbarukan (EBT). Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah berupaya untuk menggali permintaan EBT dari klaster ekonomi maritim.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Harris Yahya mengatakan pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan konsumsi listrik 3 - 10 persen bahkan ada yang lebih. 

“Kita harus memahami kondisi ini dan tentu nya perlu kita sikapi secara bijak, semua orang perlu memahami kondisi tidak normal meskipun kita harus belajar dalam kondisi new normal karena banyak hal yang berubah,” ujar Harris ketika menjadi narasumber pada gelaran webinar yang diselenggarakan Energy Academy Indonesia (ECADIN) bersama GIZ Energy Programme Indonesia Kamis lalu (11/6).

Harris mengungkapkan bahwa saat ini bauran energi baru sampai di angka 9,15 persen, namun tren nya naik dalam 10 tahun ini cukup tinggi. Bahwa ada progress yang terlihat, walau capaian 23% masih jauh. Di sektor pembangkit juga mengalami kenaikan cukup signifikan, dari sekitar 5.800 MW di tahun 2008 menjadi sekitar 10.300 MW di tahun 2019.

“Kita berharap di tahun-tahun ke depan, akselerasi bisa lebih dipercepat, sehingga target 9.000 MW di tahun 2024 akan kita capai dengan penekanan di hidro 3.900 MW, bioenergi 1.200 MW, panas bumi 1.000 MW dan panel surya 2.000 MW menjadi mungkin”, kata Harris.

Untuk mengembangkan EBT di indonesia dilakukan melalui komersial dan non komersial. Untuk yang komersial, kaitannya dengan bagaimana berkontrak dengan PLN, kaitannya dengan pelaku usaha untuk bisa berproduksi. Dan yang non-komersial bagaimana Pemerintah memberikan pilot project agar EBT bisa dicontoh kemudian bisa dikomersialkan secara baik. Harris mengatakan saat ini Kementerian ESDM, khususnya Direktorat Jenderal EBTKE sedang berproses untuk restructure dan refocusing karena selama ini perkembangan memang belum begitu drastis untuk EBT. Meskipun naik tetapi masih ada usaha yang harus lebih gigih lagi khususnya terkait dengan implementasi penganekaregaman.

“Kalau selama ini kan kita fokus RUPTL PLN, sementara kita punya peluang besar dan mungkin bisa sebesar yang sekarang dikembangkan oleh PLN yaitu potensi demand yang bisa dioptimalkan. Maksudnya diluar dari apa yang sudah direncanakan PLN, harus dicermati pula ada potensi yang bisa dikembangkan. Contohnya di Kalimantan Utara ada potensi EBT yang sangat besar jika dikembangkan bisa mencapai 9.000 MW hanya dengan mengimplementasikan PLTA secara cash cap didalam satu aliran sungai, dan problemnya di Kaltara belum cukup demand untuk menyerap energi itu, jadi perlu ada program yang bisa mengintegrasikan demand dan supply, ini yang coba kita pikirkan bagaimana untuk mengimpelentasikannya”, ujar Harris.

Lebih lanjut Harris mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini sedang berdiskusi tapi serius, dengan tim dari Australia, yang sedang menjelajah kemungkinan pembangunan pembangkit PLTA di daerah Papua dengan total kapasitas 20.000 MW. Juga sedang berproses untuk membuat pilot project dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendukung PLTS cold storage yang ada di KKP, yang selama ini masih mengandalkan pasokan listrik dari PLN. Hal ini berpeluang penghematan melalui pemanfaatan EBT.

“Jadi bisa dibayangkan saat ini, jika dikumpulkan pembangkit hydro kita itu belum sampai 10.000 MW. Ini adalah peluang-peluang yang bisa diakselerasi dengan semakin besarnya perhatian kita kepada energi bersih termasuk air, surya, angin, dan bioenergi. Hal itu akan memberikan manfaat yang luar biasa kepada bangsa dan negara, tentunya perlu dukungan kita bersama,” pungkas Harris. 

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2020