Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengharapkan tidak ada lagi pihak-pihak yang menghambat penanganan perkara tindak pidana korupsi KTP-elektronik atau KTP-e.

"Kami perlu mengingatkan bahwa hal tersebut memiliki risiko hukum yang cukup serius karena diatur di Pasal 21 Undang-Undang Tipikor, yaitu `obstruction of justice` dengan ancaman pidana 3 sampai 12 tahun," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

Hal itu terkait, terdakwa Setya Novanto yang "mogok" bicara di hadapan hakim persidangan saat menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan perkara korupsi pengadaan KTP-e.

"Kemarin kita melihat bersama-sama tentang kondisi jalannya persidangan tentang kondisi yang dikatakan sakit dan sejenisnya tersebut tentu saja itu akan menjadi catatan dan pertimbangan bagi KPK," tuturnya.

Terkait hal itu, kata Febri, tentu akan menjadi catatan dan pertimbangan bagi KPK apakah nanti akan menjadi faktor yang memberatkan dalam tuntutan nantinya.

"Saya kira hakim juga akan mencatat dan mempertimbangkan hal tersebut. Jadi, kami juga mengajak pihak Setya Novanto untuk menghormati kewibawaan pengadilan dengan fokus pada proses pembuktian sesuai dengan hukum acara yang berlaku," ungkap Febri.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara bulat memutuskan melanjutkan sidang pembacaan dakwaan untuk Setya Novanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-elektronik.

"Kami sudah bermusyawarah, kami ingin terdakwa mendengarkan dan memperhatikan surat dakwaan yang dibacakan penuntut umum sesuai ketentuan pasal 75 (KUHAP), kalau terdakwa tidak menjawab pertanyaan majelis maka majelis mengingatkan dan setelah itu sidang dilanjutkan. Tadi penasihat hukum juga sudah menyerahkan keputusan ke majelis dan majelis bermusyawarah bahwa pembacaan surat dakwaan saudara dapat dilanjutkan," kata Ketua Majelis Hakim Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12).

Pembacaan dakwaan akhirnya dilakukan pada pukul 17.10 WIB, sedangkan jadwal awalnya pukul 09.00 WIB dan setelah diskors tiga kali.

Keputusan majelis itu setelah menghadirkan seorang dokter KPK, tiga dokter RSCM, dan satu perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap Novanto karena Novanto tidak mampu menyampaikan identitas dirinya.

Penasihat Hukum juga sudah menghadirkan dokter dari RSPAD pada jeda pukul 11.30, namun Novanto menolak diperiksa dengan alasan dokter tersebut adalah dokter umum, bukan dokter spesialis.

"Permintaan kami ke beliau untuk angkat tangan bisa, menjulurkan lidah bisa, jadi artinya dalam keadaan baik, saat ditanya sakit kepala tidak, dijawab tidak. Waktu saya periksa saya tanya keluhan, beliau mengatakan kemarin ada perasaan berdebar-debar jadi pertayaan dijawab dengan baik dan jelas," kata dr Freedy Sitorus SPS(K) dari RSCM. 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017