Keselarasan putusan majelis hakim dengan nilai keadilan yang dirasakan masyarakat tidak saja butuh kepiawaian hakim, tetapi juga perlu dikawal oleh publik.

Mengutip penyataan pakar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang Prof. Dr. Pujiyono (ANTARA, 3 Maret 2023), opini publik memiliki pengaruh yang kuat, baik positif maupun negatif, pada proses peradilan.

Di satu sisi, Prof. Pujiyono menilai opini publik ini baik, dalam arti mengontrol penegakan hukum. Opini publik ini memiliki kekuatan pressure.

Dengan kuatnya opini publik yang mengawal penegakan hukum, seperti pada kasus Ferdy Sambo, setidaknya membuat para penegak hukum, termasuk hakim, tidak berani main-main dalam memutus perkara.

Baca juga: Bawaslu Maluku sarankan bakal calon DPD RI miliki naradamping mudahkan verifikasi

Betapa besarnya opini publik saat mengawal kasus Ferdy Sambo dkk. sampai pada vonis hakim yang sejalan dengan nilai keadilan yang dirasakan masyarakat.

Di sisi lain, publik melihat Bharada Richard Eliezer (Bharada E) ini sebagai sosok yang tidak pantas jika dihukum berat sama seperti mantan atasannya, Sambo. Publik seperti puas ketika vonis Bharada E relatif ringan, yakni 1,5 tahun penjara.

Demikian pula, dengan hukuman mati yang diberikan kepada Sambo, kata Prof. Pujiyono, publik pun puas dengan vonis yang diberikan hakim kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri tersebut.

Akan tetapi, opini publik juga bisa berdampak negatif jika menyalahgunakannya, misalnya dengan menggiring opini-opini tertentu untuk memengaruhi proses peradilan yang berjalan.

Kalau opini publik ini bisa digiring demi kepentingan-kepentingan tertentu dan menjadi pressure untuk memengaruhi putusan peradilan, hal ini berbahaya. Inilah sisi negatifnya, kata Prof. Pujiyono.

Baca juga: Komisi Yudisial dalami dugaan pelanggaran KEPPH hakim PN Jakarta Pusat


Putusan PN Jakpus

Mencermati putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst pada hari Kamis (2/3) yang memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap tergugat (KPU RI), antara lain:

1. Menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat.
3. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
4. Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada penggugat.
5. Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad).
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp410 ribu.

Publik pun lebih menyoroti perihal penghentian sisa tahapan Pemilu 2024. Masalahnya ada perintah untuk melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Jika pengulangan tahap pemilu ini terhitung mulai 3 Maret 2023, Pemilu 2024 berpotensi tertunda hingga 9 Juli 2025. Padahal, KPU telah menetapkan hari-H pemungutan suara pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Penundaan pemilu ini berpotensi melanggar UUD NRI Tahun 1945.

Baca juga: PDI Perjuangan tak toleransi segala upaya penundaan Pemilu 2024


Tidak pelak lagi putusan kontroversi itu mengundang reaksi dari pelbagai pihak, antara lain, Kongres Pemuda Indonesia (KPI) dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang mengadukan majelis hakim PN Jakpus ke Komisi Yudisial RI pada hari Senin (6/3) atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Usai menerima laporan tersebut, sebagaimana pemberitaan ANTARA, Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata di Jakarta, Senin (6/3), menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan berbagai metode untuk mendalami kasus tersebut, salah satunya dengan memanggil hakim atau pihak PN Jakpus guna menggali informasi lebih lanjut tentang putusan tersebut.

Pengawasan atas tingkah laku hakim ini, sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, meliputi pengawasan internal oleh Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.

Pengawasan ini tidak lain demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Akan tetapi, dalam melakukan pengawasan eksternal, KY berkoordinasi dengan MA.

Diatur pula dalam undang-undang ini, jika ada perbedaan antara hasil pengawasan internal dan eksternal, pemeriksaan bersama oleh MA dan KY.

Dalam hal ini, KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Lembaga negara ini berwenang menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran KEPPH.

Selain itu, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas KEPPH, dapat menghadiri persidangan di pengadilan, menerima dan menindaklanjuti pengaduan MA dan badan-badan peradilan di bawah MA atas dugaan pelanggaran KEPPH.

Komisi Yudisial juga melakukan verifikasi terhadap pengaduan, meminta keterangan atau data kepada MA dan/atau pengadilan, melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar KEPPH untuk kepentingan pemeriksaan, dan/atau menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Namun, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, KY dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrah) sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim (vide Pasal 13F UU No. 49/2009).

Baca juga: KY nilai putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu kontroversial


Langsung dieksekusi

Sementara itu, putusan PN Jakpus menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Frasa "perbuatan melawan hukum" ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1365.

Pasal itu menyebutkan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Walaupun KPU RI selaku tergugat ajukan banding atas putusan tersebut, putusan hakim itu dapat langsung dieksekusi sejak 2 Maret 2023, tanggal pembacaan vonis tersebut.

Oleh karena itu, putusan membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada penggugat perlu segera dilaksanakan oleh KPU RI selaku tergugat.

Pasalnya, disebutkan dalam perkara bernomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst bahwa putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad). Putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Apa pun keputusan hakim, semua pihak harus menghormatinya. Apalagi, kekuasaan kehakiman ini diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Jika mencemati putusan perkara perdata ini, satu sisi putusan penundaan Pemilu 2024 berpotensi melanggar konstitusi. Namun, di sisi lain terdapat putusan uitvoerbaar bij voorraad bersentuhan dengan kekuasaan kehakiman, sehingga dapat langsung dieksekusi.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Keadilan tak dirasakan masyarakat timbulkan putusan kontroversial

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro

Editor : Moh Ponting


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023