Ambon (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 berpotensi menimbulkan kekacauan ketatanegaraan.
"Putusan PN Jakpus itu berawal dari gugatan Partai Prima dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu konsekuensi yuridisnya null and void atau batal demi hukum, sehingga tidak dapat dieksekusi,” kata Fahri di Ambon, Kamis.
Fahri menjelaskan, pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana. Sedangkan untuk sengketa terbagi menjadi dua yakni sengketa proses dan sengketa hasil.
“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan, baik berupa "dispute" atau sengketa maupun pelanggaran lain,” katanya menjelaskan.
Menurutnya, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilu kepada Bawaslu, PTUN, PN, MA dan MK serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Fahri menyebutkan penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN, sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU RI, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) sengketa proses Pemilu melalui PTUN meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu, antara calon anggota DPR, DPD, DPRD atau Parpol calon peserta pemilu, atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/Kota.
Ketentuan ayat (2) mengatur sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara KPU dan Parpol calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
“Jadi karakter perkara yang diputuskan PN Jakpus itu masuk pada ranah perkara sengketa, yang merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus. Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai "never existed" atau tidak pernah ada oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” katanya.
Fahri menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekuensinya sangat serius, dan berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan. Dimana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga negara lainnya, seperti DPR, DPD, dan MPR.
Lembaga-lembaga tersebut akan kehilangan legitimasinya, sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional. Misalnya, presiden RI akan berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimasi.
“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu dampak yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” papar Fahri.
Idelanya, lanjut Fahri, putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa Perdata oleh PN tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan, sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter "contentiosa".
Artinya, putusan PMH itu tidak bersifat "ergo omnes" yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenagan publik.
“Apa lagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik,” ucapnya.