Bau tanah basah berpadu hawa sejuk menyambut saya,dan keempat teman  di jalan panjang  berkelok yang membelah hutan lebat menuju sebuah negeri adat bernama Desa Piliana, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah. Desa yang berada di kaki Gunung Binaiya, salah satu gunung dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia. Banyak orang menyebutnya “Negeri di atas awan” karena berada di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut( MDPL).


Dengan waktu tempuh 10 jam 30 menit dari Kota Ambon ke Piliana, menggunakan sepeda motor, menyeberangi lautan menggunakan feri dan melalui perjalanan panjang, kami tiba di hadapan gapura yang tulisannya sulit kami baca, namun masih dapat dieja “Jalur Traking Pendakian Gunung Binaiya TN Manusela Pintu Masuk Hatu Piliana”. Gapura tua itu menghantarkan kami ke jalan aspal yang kondisinya dapat membahayakan pengguna jalan. Bahkan sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang memakan korban jiwa. Bagaimana tidak, semenjak jalan ini dibuat dari 2013 sampai sekarang belum ada perbaikan. Beruntungnya kami dapat melewati itu meskipun harus naik turun motor untuk mendorongnya melewati jalan tanjakan yang retak berlubang dan banyak batu berhamburan. Apa lagi saat kami melintasinya, cuaca sedang hujan sehingga membuat jalan ini lebih sulit dilewati.


Setiap lima meter, kadang kali kami bertemu dengan warga Piliana yang yang hendak pulang dari kebun. Mereka tak beralas kaki, dengan memikul hasil kebun di kepala yang dibalutkan kain merah atau biasa disebut “kain berang” oleh warga lokal di sini. 

Kami menyempatkan menyapa, kadang dengan klakson motor, kadang dengan memanggil ‘Bapak,mama, permisi ya”. Beberapa ada yang sumringah menyambut hangat sapaan, beberapanya lagi hanya senyum tipis dengan tatapan curiga.


Agustinus Ilelapotoa (55), Bapa Raja Negeri Piliana menyambut kami dengan senyum hangat. Kerutan tampak jelas dari wajahnya berwarna coklat tua itu. Ia mengenakan kaos merah, celana hitam Panjang dan tidak beralas kaki. Sederhana, ia mempersilahkan kami duduk di kursi yang terbuat dari pelepah pohon sagu atau biasa dikenal dengan gaba-gaba. Hampir semua rumah di sini menggunakan kursi gaba-gaba. Dipaku dan ada juga yang diikat hingga berbentuk kursi Panjang untuk bersantai, bahkan bangunannya pun ada yang menggunakan gaba-gaba, unik dan memiliki ciri khas tersendiri. Barangkali karena material gaba-gaba lebih mudah diperoleh masyarakat di sini, dibandingkan dengan semen atau batu bata yang harus dibeli dari toko bangunan.

Tiga kilo dari tempat duduk kami, terlihat hamparan hutan mengelilingi negeri ini. Kabut-kabut mulai beradu cepat menyelimuti penduduk sebanyak 154 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 679 jiwa itu. Di kaki desa, laut terhampar luas berwarna biru, menunjukkan kami memang jauh dari ibu kota.Negeri Piliana memang merupakan perkampungan yang berbatasan langsung dengan Kawasan Taman Nasional Manusela yang menjadi pintu masuk pendakian Gunung Binaiya dari arah Selatan. 

“Jadi bagaimana masyarakat di sini menjaga hutan mereka pak?” Saya mulai bertanya. Tujuan saya ke sini memang mencari informasi terkait keberlangsungan Pakis Binaiya. Tumbuhan flora endemik satu-satunya yang ada di dunia, yakni di Indonesia tepatnya di Maluku Tengah, Hutan Negeri Piliana. Dengan bentuk menjulang ke atas seperti pohon kelapa membuatnya terlihat berbeda dengan jenis tumbuhan paku yang lain. Sayangnya, Pakis Binaiya saat ini terancam punah. 

Berdasarkan penelitian Tejedor & Wardani (2019), masalah yang dihadapi jenis paku pohon endemik puncak Gunung Binaiya adalah menipisnya harapan atau peluang untuk survive dalam jangka panjang, dari hasil penelitian tersebut mengklaim bahwa lebih dari setengah vegetasi pakis pohon yang ada di puncak telah mati. Data ini menunjukkan fakta-fakta tentang kematian sebagian besar individu paku pohon, khususnya pakis pohon di puncak Gunung Binaiya tingkat kematian populasi Pakis Binaiya mencapai 75 persen. Angka ini dinilai sangat tinggi dan berpeluang terjadi pertambahan angka kematian.

Balai Taman Nasional (TN) Manusela sendiri memastikan faktor penyebab berkurangnya populasi pakis pohon akibat dimakan rusa yang ada di puncak binaiya dengan menempatkan beberapa kamera trap di titik lokasi yang terdapat anakan pakis pohon binaiya, kamera trap yang digunakan sejumlah lima kamera trap dan lama perekaman sekitar lima minggu.

Dari hasil rekaman kamera trap, rusa memakan anakan Pakis Binaiya sehingga tidak ada pertumbuhan dan regenerasi. Bukan itu saja, rusa-rusa tersebut kadang menanduk batang Pakis Binaiya yang sudah tumbuh besar sehingga membuat batang pakis patah dan mati sehingga seperti tiang tak berguna. Apa penyebab rusa mengganggu keberadaan Pakis Binaiya, belum dapat dipastikan. Dari Balai TN Manusela sendiri telah berupaya membudidayakan Pakis Binaiya dengan mengambil serbuknya untuk ditanam di pusat konservasi balai. Sayangnya, pakis tidak bertahan karena memang bukan habitatnya. 

Masyarakat Piliana sendiri sejauh ini bertani di ketinggian 1.000 mdpl, sehingga bukan penyebab rusa melakukan migrasi karena deforestasi lahan atau aktivitas berlebihan di habitatnya (Rusa). Menurut mereka, aktivitas rusa memang sedari lama berada di ketinggian 2.000 hingga 3.000, atau Kawasan Pakis Binaiya. Aktivitas bertani mereka juga tidak mengganggu keberadaan rusa di dalam hutan. “Kita tidak berburu liar, kita menangkap rusa apabila ada hajatan saja, itu pun setelah sasi dibuka dan kadang izin dari Balai,” kata Agustinus.

Warga Piliana punya kepercayaan dalam menjaga hutan dengan adat yang sudah mereka lakukan sedari dulu yang diturunkan dari para leluhur. Adat itu merupakan sasi dan maku-maku, pegangan dalam menjaga kehidupan mereka serta hutan dan satwa yang berada di dalamnya.

Tradisi sasi merupakan sebuah perintah larangan untuk mengambil hasil alam, baik dari hasil pertanian atau kelautan sebelum tiba waktunya. Sasi dilakukan sebagai upaya melestarikan alam dan demi menjaga mutu hasil alam. Nantinya jika waktu sudah tiba, hasil alam atau pendapatan hasil akan dibagi rata. Sementara Maku-maku adalah tarian silsilah keturunan asli seram. Maku-maku dilakukan satu tahun sekali dalam menyambut tahun baru, sebagai tola bala atau menolak bahala.

Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah dengan luas negeri 56,57 hektar ini, sejak dulu, hutan mereka telah dijaga dengan sungguh-sungguh. Bahkan tidak ada yang berani mengambil hasil hutan dengan sembarangan. Telah ada sumpah adat di dalamnya sehingga bagi yang melanggar akan mendapatkan hukumannya sendiri. Masyarakat di sini pun membuat peraturan negeri (Perneg) tentang pembentukan lembaga pengelola sumberdaya alam pada 2023. Tujuan awal agar hutan mereka tetap aman dan tidak dikelola sembarangan. Apa lagi hutan di mana lahan mereka Bertani adalah bagian dari hutan konservasi Balai Taman Nasional Manusela.

Meskipun demikian mereka juga takut jika Pakis Binaiya benar-benar punah. Apa lagi Balai TN Manusela mencatat jumlah Pakis Binaiya yang sudah mati lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pakis Binaiya yang masih hidup dan bertahan. Hasil perhitungan di lapangan menunjukkan jumlah individu yang sudah mati sebanyak 850 batang, sementara itu jumlah individu yang masih hidup hanya berada di angka 444 batang. 

“Pakis Binaiya tidak ditemukan di tempat lain. Yang kami takutkan ia punah. akan sangat mempengaruhi pemandangan Gunung Binaiya. Jadi tidak indah lagi,” ujar Ketua Saniri, lembaga adat yang berperan mengayomi adat istiadat dan hukum adat di Piliana, Julianus Ilelapotoa.

Lelaki berusia 59 tahun itu tampak menggebu-gebu membicarakan soal keberlangsungan Pakis Binaiya. Usianya bahkan hampir menginjak 60 tahun, tetapi ia tampak semangat menceritakan kepeduliannya terhadap lingkungan. Sepertinya Julianus memang orang yang tegas. Ia bahkan kerap memeriksa para pendaki yang baru turun dari Gunung Binaiya untuk memastikan mereka tidak membawa tumbuhan dan satwa liar dari dalam hutan. “Kita selalu melakukan pemeriksaan terhadap pendaki yang turun dari gunung. Jika ada kedapatan akan kami proses di saniri baru kemudian diserahkan ke Balai Taman Nasional Manusela. Tapi sejauh ini belum kedapatan karena sebelum pendakian sudah kami tegaskan,” ujarnya.

Keberlangsungan hidup tumbuhan Pakis Binaiya di tangan masyarakat adat Piliana tidak hanya menggambarkan komitmen mereka terhadap pelestarian flora endemik Maluku, tetapi juga mencerminkan keterhubungan mendalam antara budaya dan lingkungan. Masyarakat Piliana, dengan pengetahuan tradisional dan praktik kebudayaannya yang khas, memainkan peran dalam menjaga habitat alami pakis ini dari ancaman kepunahan dan perubahan lingkungan. 

Melalui upacara adat, ritual, dan pengelolaan berbasis komunitas, mereka memastikan bahwa pakis Binaiya tetap menjadi bagian integral dari lanskap dan identitas budaya mereka. Ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal dalam upaya konservasi, sekaligus memperkuat argumen untuk model pengelolaan lingkungan yang menghargai peran penting masyarakat adat dalam melindungi kekayaan alam mereka.

Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Pattimura Andri Tuhumury mengatakan, sejauh ini belum ada penelitian terkait Pakis Binaiya maupun satwa rusa di Hutan Konservasi Gunung Binaiya. Namun, mendengar flora endemik ini terancam punah, ia mengatakan rusa memang sudah sering ditemukan berada di sekitar Pakis Binaiya. “Tapi kalau dia memakan Pakis Binaiya, kami juga baru dengar infonya. Barangkali rusa baru-baru ini memang punya kebiasaan baru memakan tumbuhan paku itu,” katanya. 

Menurutnya, mengatasi hal ini, Balai TN Manusela bisa melakukan vegetasi pakan terhadap rusa-rusa tersebut jauh dari wilayah hidupnya Pakis Binaiya sehingga dapat mengalihkan rusa dari tumbuhan Pakis Binaiya. Selain itu, pihak balai harus lebih intens mengawasi jangan sampai ada perburuan liar di dalam hutan konservasi. 


Langkah Balai TN Manusela

Balai Taman Nasional Manusela telah melakukan inventarisasi pakis pohon di puncak Gunung Binaiya pada Agustus 2021 yang lalu untuk memastikan kondisi terkini Pakis Pohon. Menganalisis citra tutupan lahan di puncak Binaya. Berdasarkan hasil penafsiran citra dan ketinggian tempat maka didapat luas inventarisasi sebesar 49,8 hektar.

Selain itu, melakukan inventarisasi di lokasi dan luasan yang ditentukan pada titik yang telah direncanakan pada peta, terdapat39 Titik pengambilan data. Di inventarisasi berdasarkan kategori jenis Pakis Pohon, Anakan (Seedling) yang ditandai dengan tidak berbatang,  Pancang (Sapling) ditandai dengan  berbatang tidak lebih dari 2 meter dan dewasa (Adult) Berbatang lebih dari 2 meter.

Adapun hasil inventarisasi yakni, jenis Pakis Pohon yang ditemukan di puncak Gunung Binaiya yaitu Sphaeropteris pukuana dan Alsophila binayana, selain paku pohon ditemukan juga jenis tumbuhan berkayu dengan tingkat pancang seperti jenis Kayu Merah, Puspa dan kayu Halu. Berdasarkan pengkategorian tingkat hidup Pakis pohon masih ditemukan anakan yaitu jenis Sphaeropteris pukuana 25 Anakan, dan Alsophila binayana 53 anakan.

Pada tingkat pancang ditemukan sebanyak 18 pancang, dari data jumlah pakis pohon pada tingkat pancang 30 persen masih hidup atau sebanyak 7 Pancang, yaitu Alsophila binayana. Pada tingkat dewasa, pakis pohon yang ditemukan sebanyak 398 Pakis Pohon Dewasa, dari data jumlah pakis pohon dewasa 67persen masih hidup atau sebanyak 267 Pakis Pohon yaitu sebanyak 23 persen ditemukan Alsophila binayana atau sebanyak 61 dewasa, dan 77 persen merupakan Sphaeropterispukuan atau 206 dewasa.

Pada penentuan faktor penurunan jumlah populasi pakis pohon di puncak binaiya dapat diduga adanya peran serta rusa dalam penurunan tersebut. Hal ini dibuktikan dari beberapa plot pengambilan data ditemukan banyak jejak dan kotoran rusa, serta ditemukan juga bekas gigitan rusa pada anakan Pakis Binaiya.

Berdasarkan pengambilan data kamera trap ditemukan juga rusa yang memakan atau mengganggu anakan pakis pohon sehingga dapat menguatkan dugaan keterlibatan rusa dalam penurunan populasi tersebut. Disamping itu dari kamera trap juga ditemukan bahwa puncak binaiya merupakan tempat yang sudah sesuai pada pertumbuhan rusa hal ini dapat dilihat dari data kamera trap terdapat beberapa rusa yang didapat mulai dari anakan, remaja dan dewasa, bahkan juga didapati rusa yang sedang melakukan proses perkawinan.

Kepala Balai TN Manusela, Abdul Azis Bakry (51) mengaku, inventarisasi Balai Taman Nasional Manusela masih jauh dari kata sempurna, namun berdasarkan inventarisasi yang dilakukan didapatkan informasi mengenai kondisi Pakis Binaiya di puncak Gunung Binaiya sehingga dipertimbangkan sebagai bahan masukan untuk perlakukan selanjutnya. “Kita sedang Menyusun program untuk melakukan pengamatan lebih lanjut, karena ini adalah dua hal yang sama-sama kita lindungi, jadi agak sulit. Kami berharap segera mendapatkan solusi atas masalah ini,” ucap Azis.


Mengenal Pakis Binaiya

Tumbuhan paku-pakuan mempunyai peranan penting dalam ekosistem hutan dan manusia. Dalam ekosistem hutan, paku-pakuan berperan dalam pembentukan humus dan melindungi tanah dari erosi, sedangkan untuk kehidupan manusia, tumbuhan paku-pakuan berpotensi sebagai sayur-sayuran, tanaman hias, bahan obat-obatan  tradisional dan kerajinan tangan.

Seram merupakan pulau yang kaya akan potensi sumber daya alamnya, khususnya flora dalam jumlah yang banyak dan sudah lama diketahui secara umum. Beberapa jenis dari tumbuhan-tumbuhan tersebut mempunyai penyebaran terbatas, diantaranya adalah tumbuhan paku (Pteridophitha). Taman Nasional Manusela merupakan kawasan keanekaragaman flora di Pulau Seram, termasuk dalam hal ini adalah jenis tumbuhan Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) yang merupakan jenis paku-pakuan endemik Pulau Seram yang habitatnya berada di sekitar Puncak Binaiya. Altitude terendah habitat jenis ini berada pada ketinggian 2.600 – 3.000 mdpl.

Bentuk tumbuhan paku jenis ini hampir menyerupai pohon kelapa, sehingga mudah dibedakan dengan jenis paku lainnya. Pada batang bagian atas hanya terdapat lekukan dangkal bekas tangkai daun melekat. Tinggi batang Pakis Binaiya bisa mencapai 10 - 12 meter dengan tekstur batang yang kasar dan sangat keras, hingga tak jarang melihat pakis yang telah mati namun batangnya tetap berdiri tegak dan kokoh.

Analisis terhadap populasi Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) dilakukan dengan mengklasifikasi habitat berdasarkan perbedaan ketinggian (altitude). Altitude terendah dari habitat jenis ini berada pada ketinggian 2.600 mdpl dan tertinggi berada pada ketinggian 3,000 mdpl. Sehingga klasifikasi altitude dilakukan untuk setiap kenaikan 100 mdpl.

Di beberapa altitude, Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) pada ketinggian 2.600 – 2.700 mdpl memiliki jumlah populasi yang lebih kecil dibandingkan dengan level di atasnya. Karena pada level ini kondisi habitat lebih banyak tumbuh di daerah lembah. Dari kondisi seperti itu dapat diketahui bahwa Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) kurang menyukai habitat dengan lapisan tanah tebal, yang mana dengan kondisi tersebut banyak ditumbuhi jenis pohon berkayu besar yang  memungkinkan ruang tumbuh akan didominasi oleh jenis pohon, sehingga Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) cenderung kurang berkembang di habitat tersebut.

Pada ketinggian 2.700 – 3.000 mdpl menunjukkan dugaan populasi Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) yang cukup besar, khususnya pada ketinggian 2.800 – 2.900 mdpl. Pada jangkauan level tersebut habitat pakis berada di lereng Gunung Binaiya. Lereng yang cukup terjal dengan lapisan tanah yang tipis menjadi kondisi habitat yang disukai tumbuhan jenis ini dikarenakan sangat sedikit tumbuhan yang mampu tumbuh pada daerah tersebut. Tumbuhan lain yang mampu tumbuh hanya sampai tingkat perdu atau semak yang tingginya lebih rendah jika dibandingkan dengan Pakis Binaiya (Chyathea Binayana). Sehingga pakis bisa tumbuh dominan di habitat yang ekstrim bagi tumbuhan lain. Inilah yang menjadi salah satu keunikan dari jenis endemik yang hanya dijumpai di sekitar lereng Gunung Binaiya.

Kondisi populasi Pakis Binaiya (ChyatheaBinayana) dideskripsikan berdasarkan kondisi yang dijumpai selama kegiatan inventarisasi dilaksanakan, pada ketinggian2.600 – 3.000 mdpl. Berdasarkan hasil pengamatan oleh pihak Taman Nasional Manusela, pada September 2013, jumlah anakan (tinggi kurang dari 1 meter) Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) yang dijumpai pada petak ukur tergolong sangat sedikit. Dari 27 petak ukur yang ada, anakan jenis ini hanya dijumpai pada 5 petak ukur dengan jumlah 12 individu pada ketinggian 2.800 – 2.900 mdpl. 

Kondisi tersebut menggambarkan regenerasi Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) memiliki jangka waktu yang cukup lama dan spora yang jatuh memiliki persentase tumbuh yang sangat kecil. Disamping itu, di lokasi inventarisasi banyak dijumpai Pakis Binaiya yang telah mati. Hampir di setiap petak ukur ditemukan individu yang mati. Jumlah terbesar dijumpai pada level ketinggian 2.600 – 2.700 mdpl. Hal ini dikarenakan pada ketinggian tersebut jenis tumbuhan ini banyak tumbuh di bawah naungan pohon tinggi dan besar.

Perlu dilakukan penelitian atau monitoring lebih lanjut yang dilakukan secara periodik minimal 5 tahun sekali, untuk mengetahui perkembangan populasi jenis ini yang regenerasinya tergolong sangat lambat. Diperlukan kerja sama dengan pihak lain untuk mengkaji aspek-aspek yang menjadi faktor utama perkembangbiakannya. Sebagai upaya preventif dalam mencegah kerusakan habitat Pakis Binaiya (Chyathea Binayana) diperlukan penyebaran informasi dan edukasi bagi para pendaki Binaiya untuk tidak merusak dan memotong bagian dari tumbuhan endemik ini yang dapat menyebabkan kematian pada tumbuhan tersebut.

Masyarakat Piliana kukuh menjaga hutan mereka selama ini, dengan budaya dan tradisi yang telah diturunkan dari para leluhur. Balai Taman Nasional Manusela juga masih terus berupaya mencari solusi tunggal untuk mengatasi rusa melakukan aktivitas di sekitar tumbuhan Pakis Binaiya. Lantas, bagaimana menghentikan rusa merusak Pakis Binaiya? Entah, ini adalah pilihan sulit. Pakis merupakan tumbuhan endemik Maluku. Begitupun rusa adalah salah satu satwa liar dilindungi.
 

Pewarta: Winda Herman

Editor : Ikhwan Wahyudi


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024