Ambon (Antara Maluku) - Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Pattimura Prof. DR. Aholiab Watloly menyatakan, esensi atau hakekat demokrasi adalah kedaulatan rakyat sehingga UU Pilkada yang mengatur mekanisme pemilihan gubernur, bupati/wali kota oleh DPRD bertentangan dengan makna demokrasi itu.

"Kalau ditanya rakyat yang mana, ya jawabannya jelas rakyat yang berdaulat menentukan pemimpinnya," katanya, di Ambon, Minggu.

UU Pilkada disahkan DPR RI setelah melalui "voting" dengan hasil 135 anggota menyetujui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat dan 226 anggota memilih dikembalikan ke DPRD. Total anggota dewan yang mengikuti proses "voting" berjumlah 361 orang, tidak termasuk anggota Fraksi Demokrat yang "walkout".

Menurut Aholiab, UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD itu jelas menghilangkan kedaulatan rakyat, karena anggota dewan berasal dari berbagai partai politik dan sangat lekat dengan kepentingan-kepentingan masing-masing, bukan kepentingan atau keinginan rakyat secara keseluruhan.

Kepentingan rakyat itu hanya bisa terlihat apabila kewenangan memilih pemimpin itu diberikan kepada seluruh anggota masyarakat lewat Pilkada langsung, seperti yang telah berjalan selama 10 tahun terakhir ini.

"Jadi rakyat di sini adalah yang riil, bukan institusi yang mengatasnamakan rakyat termasuk DPRD," katanya.

Disinggung mengenai sila ke-4 Pancasila tentang permusyawaratan dan perwakilan, Aholiab menyatakan bahwa sebenarnya poin pentingnya ada pada kata kebijaksanaan sebagai bentuk kecerdasan atau akal sehat untuk menentukan nilai-nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia sehingga terwujud rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa.

"Bangsa kita ini berbeda-beda suku, golongan dan agama, sehingga kebijaksanaan itu mutlak diperlukan. Jadi bukan soal kalah-menang, bukan pula tirani mayoritas atau minoritas. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam semangat gotong royong," katanya menandaskan.

Lebih jauh Aholiab menyatakan bahwa sekarang ini banyak orang cerdas tetapi tidak bijaksana. Apa yang dipertontonkan oleh anggota DPR pada awal masa kerjanya sangat memprihatinkan, karena mereka terpecah dalam perbedaan-perbedaan dan tersegmentasi dalam kepentingan-kepentingan materi kekuasaan yang sempit.

"Kita semua berharap fenomena itu temporer sifatnya dan para anggota dewan yang terhormat itu bisa segera menemukan kecerdasan budi pekerti (etika) yang menjadi warisan kebangsaan atau yang disebut hidup manusia pancasilais," katanya.

"Saya pribadi juga berharap fenomena itu tidak terjadi di daerah, khususnya Maluku, karena di sini ada kearifan lokal yang sangat kuat, yakni "hidup orang basudara (bersaudara)," tambahnya.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014