Benjina, nama salah satu pulau di wilayah Kebupaten Kepulauan Aru, Maluku dalam sepekan terakhir ini menjadi populer.

Pasalnya, di pulau yang menjadi markas perusahaan penangkapan dan pengalengan ikan PT. Pusaka Benjina Resources (PBR) itu, dikabarkan terjadi praktik perbudakan, sebagaimana laporan Associated Press (AP) bertajuk "Was Your Seafood Caught By Slaves".

Benarkah ada perbudakan di sana?

Untuk menjawab hal itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menerjunkan tim investigasi ke Dobo, Ibu Kota Kepulauan Aru, dan tentunya juga Pulau Benjina, dipimpin oleh Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Asep Burhanudin.

Fakta yang ingin diperoleh tentunya kebenaran gambar video produksi wartawan AP yang memperlihatkan adanya sel-sel tahanan dan kuburan yang diduga berisi jenazah para ABK asing korban kerja paksa.

Sementara tudingan AP belum dapat dibuktikan, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui satgas Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tual dibantu TNI Angkatan Laut sudah mengevakuasi sedikitnya 347 warga negara asal Myanmar, Laos dan Kamboja.

Ratusan WNA (warga negara asing) itu mengaku sebagai ABK (anak buah kapal) yang bekerja untuk PBR.

Evakuasi itu didasarkan pada permintaan para ABK dan temuan pelanggaran yang dilakukan PBR, di antaranya pemalsuan dokumen para pekerja, yang diklaim semua berasal dari Thailand padahal tidak, dan tindak kekerasan yang dilakukan para tekong (nahkoda) kapal ikan milik PBR.

Para tekong kapal ikan milik PBR yang mempekerjakan warga Myanmar, Laos dan Kamboja itu umumnya berkewarganegaraan Thailand.

Sampai hari ini, 347 WNA, terbanyak Myanmar dengan jumlah 278 orang, masih berada di Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual, sejak proses evakuasi dari Dobo dilakukan pada Jumat (3/4).


IOM ikut meninjau

Pemberitaan AP tentang perbudakan manusia di Benjina tidak kurang membuat Duta Besar Thailand dan wakil kepala polisi negara itu melakukan peninjauan langsung ke Ambon, Dobo dan Benjina.

Hasil peninjauan, empat warga negara asal Thailand dipulangkan ke negara asalnya, tanpa ada keterangan sedikitpun menyangkut dugaan perbudakan manusia.

Keterangan dari penjabat Sekretaris Daerah Kebupaten Kepulauan Aru, Arens Uniplaitta menyebutkan bahwa empat warga Thailand itu dipulangkan ke negaranya atas keinginan sendiri.

Arens membenarkan adanya sel tahanan di Benjina, tetapi dikabarkan itu hanya digunakan untuk menahan ABK yang mabuk dan membuat onar di kapal.

Hari ini (8/4), delegasi Myanmar, Laos dan Kamboja pun sudah tiba di Tual, untuk menemui warga negara mereka yang berada di PPN Tual sebagai tempat penampungan sementara, sebelum dipulangkan ke negara asal masing-masing.

Satu hal menarik, bersama delegasi tiga negara itu juga ikut staf dari IOM (international organization for migration), organisasi dunia yang bergelut di bidang masalah-masalah migrasi manusia untuk alasan mencari kehidupan.

Seperti dikatakan Asep Burhanudin, proses pemulangan warga negara asing yang sementara ini ditampung di PPN Tual harus melibatkan atau dalam koordinasi dengan negara-negara terkait, yakni Myanmar, Laos dan Kamboja.

"Bila mereka mengalami kesulitan, maka kami akan meminta bantuan TNI AL untuk membawa para ABK asing itu ke Jakarta, untuk selanjutnya dilakukan proses deportasi ke negara masing-masing," tuturnya.


Usut tuntas

Kendati pemberitaan AP tentang perbudakan manusia di Benjina belum dapat dibuktikan, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) memberikan perhatian cukup besar.

Jokowi meminta masalah dugaan perbudakan di Benjina itu harus diusut sampai tuntas, Selasa (7/4).

Pemintaan presiden itu bisa dikatakan wajar, apalagi para ABK yang sudah dievakuasi menyatakan banyak rekan mereka yang meninggal dunia dan dikuburkan di Benjina, dan ada juga yang melarikan diri ke hutan akibat tidak tahan disiksa para tekong di tempat mereka bekerja.

Lebih dari itu, masalah perbudakan manusia ini bila terbukti benar harus dilanjutkan ke ranah hukum, tidak berhenti pada tindakan pemulangan para ABK asing.

Karena itu, kerja investigasi mau tidak mau harus ditingkatkan, tidak hanya melibatkan KKP, tetapi juga TNI/Polri dan instansi lain termasuk imigrasi, kejaksaan dan pengadilan, demi menjaga kewibawaan negara Republik Indonesia yang secara tegas menyatakan menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi, sebagaimana tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Ketegasan presiden yang meminta kasus ini diusut tuntas sudah jelas, tinggal bagaimana instruksinya itu dikawal secara baik.

Kabar bahwa tindakan kekerasan dan atau perbudakan yang diterapkan para tekong terhadap ABK asal Myanmar, Laos dan Kamboja tidak melibatkan atau tidak diketahui PBR masih harus dibuktikan.

PBR bersalah atau tidak, proses penyelidikan harus dilakukan untuk membuktikan negara ini menjunjung tinggi demokrasi berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku.

Kedatangan Dubes dan Wakil Kepala Polisi Thailand ke Ambon, Dobo dan Benjina, juga kunjungan delegasi Myanmar, Laos, Kamboja, dan staf IOM di Tual membuktikan kasus ini sudah menjadi perhatian dunia.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015