Musim kemarau selalu menjadi masa sulit bagi Hamadal (55), karena jika berlangsung lama ia harus menyediakan dana pembelian air cukup besar untuk kebutuhan usaha penangkaran bibit tanaman perkebunan miliknya.

Seperti pada musim kemarau sekarang ini, petani yang merupakan warga Kelurahan Marikurubu, Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) itu sudah mengeluarkan dana jutaan rupiah untuk membeli air dari PDAM setempat guna menyiram sekitar 80.000 bibit tanaman, seperti pala, cengkih dan durian di tempat penangkarannya.

"Lokasi penangkaran bibit tanaman perkebunan saya ini berada di ketinggian sehingga tidak memungkinkan untuk mendapatkan air melalui sumur bor. Sungai dan jaringan PDAM di tempat ini juga tidak ada, jadi satu-satunya cara untuk mendapatkan air di musim kemarau adalah membeli air dari mobil tangki air PDAM," kata ayah sembilan anak itu.

Hamadal yang telah terdaftar sebagai penangkar resmi bibit tanaman perkebunan di Dinas Pertanian Malut dan Kementerian Pertanian itu mengaku dana yang selama ini digunakan untuk membeli air dari PDAM hanya mengandalkan hasil penjualan bibit kepada instansi pemerintah atau masyarakat.

Di musim kemarau, menurut pria yang hanya tamatan SMP itu, jarang sekali ada pembeli bibit perkebunan di penangkarannya dan di saat seperti itu lah ia sering kalang kabut mencari dana untuk membeli air dari PDAM, karena penyiraman bibit harus dilakukan setiap hari.

Hamadal yang mendalami pengetahuan tentang penangkaran bibit tanaman perkebunan melalui berbagai pelatihan yang diikutinya, baik di Malut maupun di berbagai daerah di Indonesia, mengaku pernah beberapa kali mengalami kerugian ratusan juga rupiah karena bibit tanaman perkebunan di penangkarannya mati akibat terlambat disiram.

"Saat itu saya sama sekali tidak memiliki dana untuk membeli air dari PDAM. Saya sudah mencoba mencari pinjaman dari berbagai pihak tetapi tidak berhasil dan akibatnya sekitar 50.000 bibit tanaman pala dan cengkih yang telah berusia tiga bulan mati semua," tuturnya.

Menurut dia, mengembangkan bibit perkebunan, terutama pala dan cengkih berbeda dengan tanaman pertanian lainnya seperti padi sawah atau palawija yang waktu tanamnya bisa diatur untuk menghindari musim kemarau.

Bibit tanaman cengkih dan pala mulai dari proses pembibitan sampai siap tanam membutuhkan waktu sembilan sampai satu tahun, sehingga tidak mungkin bisa menghindari waktu musim kemarau, sehingga ia harus tetap membutuhkan dana untuk membeli air di musim kemarau.

Hamadal yang penangkaran bibit perkebunan miliknya selalu menjadi tujuan kunjungan para pejabat terkait dari Jakarta saat berkunjung ke Ternate, seperti Menteri Kehutanan MS Kaban tahun 2005 mengaku sebenarnya telah melakukan langkah-langkah terkait penyediaan air dalam setiap menghadapi musim kemarau.

Langkah-langkah itu di antaranya menampung air hujan dengan menggunakan bak penampung dari terpal pelastik, tetapi karena kapasitas air dalam bak-bak itu sangat terbatas sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan untuk menyiram bibit selama musim kemarau, apalagi kalau musim kemaraunya berlangsung lama, tuturnya.


Harapan Bantuan

Hamadal mengaku penangkaran bibit tanaman perkebunan yang dikembangkannya sejak 2003 sedikit banyak telah memberi kontribusi dalam penyediaan bibit tanaman perkebunan yang bermutu dan sesuai standar, baik untuk kebutuhan Malut maupun di wilayah lainnya di Indonesia seperti Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bandar Lampung dan sejumlah daerah di pulau Jawa.

Dari penangkarannya, ia mengaku setiap tahun mampu menyediakan sedikitnya 60.000 bibit tanaman perkebunan, umumnya pala dan cengkih dengan harga jual yang tidak memberatkan yakni untuk kebutuhan proyek pemerintah hanya Rp7.000 per bibit dan untuk masyarakat hanya Rp5.000 per bibit.

Oleh karena itu, ia sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, khususnya dalam memenuhi kebutuhan air bagi penangkarannya di setiap musim kemarau, terutama jika musim kemarau berlangsung lama.

"Bantuan yang saya harapkan adalah pembangunan bak penampung air hujan berukuran besar di sekitar lokasi penangkaran. Sudah lama saya merencanakan pembangunan bak penampung itu tetapi saya tidak memiliki dana untuk merealisasikannya sendiri," ujarnya.

Bak penampungan air hujan itu, menurut dia, harus dibeton baik dari dasar maupun kelilingnya, karena hanya berupa tanah dipastikan airnya tidak bertahan lama sebab jenis tanah di lokasi penangkaran itu berupa tanah pasir yang cepat meresap air.

Hamadal mengaku selama ini belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dalam bentuk dana atau infrastruktur, kecuali dalam pengiriman mengikuti pelatihan penangkaran di Jawa dan Sulawesi Selatan.

Beberapa waktu lalu ia mengaku pernah dipanggil oleh Bank Indonesia Perwakilan Malut dan diminta mengajukan proposal bantuan untuk mengembangkan usaha penangkarannya, tetapi setelah proposal bantuan dimasukkan sampai sekarang belum ada realisasinya.

Ia mengaku pernah pula berencana mengajukan bantuan modal usaha di sejumlah Bank milik pemerintah di Ternate dengan memanfaatkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), tetapi urung dilakukan setelah mendengar dari sejumlah rekannya bahwa untuk mendapatkan kredit itu persyaratannya sangat banyak.

Ia mengaku sempat berpikir untuk menutup usaha penangkaran bibit tanaman perkebunannya dan beralih ke usaha lain, tetapi ia merasa sudah telanjur mencintai usaha penangkarannya itu, apalagi jenis tanaman perkebunan yang ditangkarkannya adalah pala dan cengkih yang memiliki nilai historis di daerah ini.

Hamadal mengaku merupakan salah satu keturunan dari pemilik cengkih afo di Ternate yakni cengkih yang disebut-sebut cengkih tertua di dunia dan selama ini merupakan salah satu pohon cengkih dari delapan pohon indukan yang dijadikannya sumber bibit.

Pewarta: La Ode Aminuddin

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015