Ambon, 1/12 (Antara Maluku) - Pusat Penelitian Laut Dalam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPLD-LIPI) telah melakukan kajian awal pemanfaatan nano-khitosan untuk pengawetan ikan segar hasil tangkapan nelayan, dan hasilnya efektif.

Siaran pers PPLD-LIPI yang diterima Antara, Senin, menyatakan kajian tersebut dilakukan oleh Dr. Yosmina Tapilatu, peneliti PPLD-LIPI yang merupakan anggota tim multidisipliner dalam proyek MP3EI mengenai Pengembangan Teknologi Produksi Nano-Khitosan dari Limbah Kulit Udang untuk Pengawetan Ikan di Wilayah Kepulauan Maluku.

Proyek yang dipimpin oleh Dr. Wiratni Boedhijanto dari Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada ini telah memasuki tahun kedua.

Kajian yang dilakukan karena keprihatinan akan diperlukannya teknologi pengawetan yang murah, tidak beracun dan ramah lingkungan, untuk mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan nelayan kecil di Kepulauan Maluku.

Ide baru yang dieksplorasi dalam kajian ini adalah pemanfaatan nano-khitosan sebagai bahan alamiah anti bakteri dalam inovasi pengawetan ikan hasil tangkapan bagi nelayan kecil, sehingga waktu tangkap dapat diperpanjang untuk meningkatkan efisiensi waktu penangkapan.

Karena Nelayan tradisional biasanya membawa es balok saat penangkapan (sekitar 1 - 1,5 kali berat ikan target). Ketika saat melaut terlalu lama, es yang mencair akan mempercepat proses pembusukan, akibatnya nelayan akan tergoda untuk menambahkan formalin untuk pengawetan.

Menurut Yosmina, nano-khitosan merupakan polisakarida bermuatan positif yang secara alamiah dapat merusak dinding sel bakteri. Aman untuk dikonsumsi manusia, dan bahannya dapat diproduksi dengan proses yang relatif sederhana dari limbah cangkang udang dan kepiting.

Berdasarkan data BPS, total produksi total udang dan kepiting dari Indonesia rata-rata mencapai setidaknya 160.000 ton/tahun. Dengan asumsi bahwa 25 persen dari berat tersebut adalah cangkangnya, maka limbahnya dapat mencapai setidaknya 40.000 ton/tahun. Dari limbah ini dapat diproduksi 10.000 ton khitosan/tahun.

Sedangkan untuk mengawetkan satu ton ikan segar hanya dibutuhkan sekitar satu kilogram khitosan untuk mengawetkan 1 ton ikan segar.

"Kajian awal yang dilakukan menggunakan larutan nano-khitosan dengan konsentrasi satu persen untuk mengawetkan anak ikan tuna hasil tangkapan yang dibeli di tempat penjualan ikan di desa Latuhalat," katanya.

Dikatakannya, ikan tuna direndam dalam nano-kitosan dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam, kemudian diamati kesegarannya dengan parameter, meliputi angka total basa yang menguap (TVB), angka bakteri (TPC), kadar air dan derajat keasaman (potential of hydrogen - pH).

Selain itu juga dilakukan tes organoleptik, yakni pengamatan kekenyalan daging, warna mata dan bau ikan.

Hasil pengamatan secara keseluruhan mengindikasikan bahwa mutu daging anak ikan tuna yang diawetkan dengan nano-khitosan dan disimpan dalam lemari es lebih layak dikonsumsi, ketimbang yang tidak diawetkan dengan nano-khitosan.

Hal ini juga lebih jelas terlihat jika dibandingkan dengan mutu ikan yang disimpan pada suhu ruang.

"Hasil kajian awal ini sudah dipaparkan dalam the 2nd International Symposium on Aquatic Products Processing and Health yang berlangsung di Universitas Diponegoro Semarang, pada 13-15 September lalu," kata Peneliti Muda bidang Mikrobiologi Laut.

Kajian awal ini akan dilanjutkan dengan pengujian pemanfaatan nano-khitosan secara langsung di lapangan. Tim peneliti akan bekerja sama dengan kelompok nelayan binaan di kota Ambon untuk mengamati potensinya sebagai bahan pengawet saat penangkapan dilakukan.

"Kami juga berencana untuk mengamati potensi penggunaan nano-khitosan sebagai bahan anti bakteri pada es balok yang dipakai di pasar ikan setempat, agar dapat membantu pedagang untuk memperpanjang waktu penjajaan ikan dagangan dalam kondisi yang lebih higienis," tutup Dr. Yosmina Tapilatu.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015