Ambon, 3/12 (Antara Maluku) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya sedang merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tata organisasi dan ruang lingkup tugas serta tanggung jawab LPSK Perwakilan di daerah.

"Untuk LPSK Perwakilan di daerah, sebenarnya kita sudah respon, ini dibuktikan sedang merumuskan Perpres tentang tata Organisasi dan juga ruang lingkup tugas dan tanggung jawab dari Perwakilan," katanya, di Ambon, Kamis.

Abdul berada di Ambon, dalam rangka menghadiri Seminar dan Sosialisasi Peningkatan Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menurut dia, dengan adanya Perpes nanti, disahkan dan ditandatangani oleh Presiden tentunya tinggal mewujudkannya pembentukan LPSK Perwakilan di daerah.

"Kami sendiri menyadari bahwa selain merespon aspirasi di masyarakat untuk pembentukan LPSK di daerah, ini juga berangkat dari pengalaman teman-teman, di mana untuk penanganan perlindungan saksi dan korban di daerah, seringkali mengalami hambatan karena faktor rentang kendali yang jauh," katanya.

Karena itu, kata Abdul, ketika permohonan untuk perlindungan saksi dan korban seringkali tidak bisa merespon dengan cepat. Apalagi untuk pemenuhan hak saksi dan korban perlu koordinasi dengan berbagai pihak.

"Kalau kita dari Jakarta melakukan koordinasi juga terhambat. Memang berbagai kesulitan dan kelemahan inilah yang mendorong untuk dibentuknya LPSK Perwakilan di daerah," ujarnya.

Karena itu, tahap yang memang harus dilalui adalah menyelesaikan dulu Perpres sebagai payung bagi pembentukan LPSK Perwakilan di daerah.

Jadi dengan selesainya Perpers nanti, mudah-mudahan pada akhir 2015 atau awal 2016 akan ditindaklanjuti dengan pembentukan LPSK Perwakilan di daerah.

Abdul mengatakan, dengan adanya UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebenarnya ada komitmen yang jelas dari negara untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban juga untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada saksi dan korban.

"Sebagai saksi dan korban mereka merasa tidak diabaikan oleh negara dan mereka dapat dipulihkan atau direhabilitasi sehingga mereka dapat kembali seperti sediakala atau sebelum peristiwa pidana itu terjadi," katanya.

Keberadaan UU ini atau komitmen negara, kata dia, tidak bisa hanya ditulis manis di atas kertas semata, tetapi harus diwujudkan dalam keseharian atau dirasakan langsung oleh saski dan korban, terutama aparat penegak hukum.

Karena aparat penegak hukum yang mempunyai peran, misalnya dalam tahap pemeriksaan ditingkat penyidikan oleh pihak Kepolisian.

"Sebagai seorang penyidik harus memperlakukan dengan baik seorang saksi atau seorang pelapor, tetapi sangat tergantung dari penyidik itu sendiri. Karena itu, perlu ada perubahan dalam hal cara perilaku dan cara pandang penyidik sehingga saksi dan korban merasa mendapatkan perlakuan yang baik," ujar Abdul.

Selanjutnya, begitu juga dengan pihak pengadilan maupun kejaksaan dan yang tidak kalah penting adalah pelayanan dalam hal medisikologi. Artinya, ketika ada peristiwa pidana kejahatan biasanya korban seringkali mengalami luka-luka atau sakit sehingga perlu ditangani segera. Begitu juga kalau psikologi terganggu juga segera diberikan pelayanan.

"Kalau pengobatan diserahkan kepada korban sendiri, baik kalau keluarganya mempunyai anggaran. Kalau tidak korban akan lebih lama menderita. Karena itu, dengan dilakukan sosialisasi Peningkatan Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, negara mempunyai kewajiban untuk mengobati korban tindak kejahatan pidana," katanya.

Pewarta: Rofinus E. Kumpul

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015