Ambon, 30/6 (Antara Maluku) - Lembaga Partisipasi Pembangunan Masyarakat (LPPM) Ambon, sedang menjalankan program perlindungan kawasan pesisir berbasis masyarakat di empat dusun di Desa Buano Utara, Kecamatan Waisala, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.

"Karena programnya berbasis masyarakat maka kami juga akan mendorong partisipasi dan tanggung jawab masyarakat, begitu juga dengan pemerintah di Dusun Huhua, Anauni, Pulau Kasuari, dan Naiselang untuk bisa melindungi kawasan pesisir mereka," kata Noni Rafiang Tuharea dari LPPM Ambon, di Ambon, Kamis.

Noni yang juga koordinator program mengatakan kegiatan yang dilaksanakan bekerja sama dengan Yayasan Burung Indonesia tersebut, difokuskan pada pembangunan kesadaran kritis masyarakat sehingga ada aksi penyadaran lingkungan, dan mendorong adanya regulasi di tingkat lokal.

Karena berdasarkan hasil penelitian LIPI, kondisi karang dan kawasan hutan bakau di pesisir Buano masih dalam kondisi baik, tapi rentan dengan kerusakan karena adanya aktivitas berlebihan yang berkaitan dengan penangkapan ikan oleh masyarakat setempat, salah satunya adalah penggunaan bom ikan.

"Kami memfasilitasi penyusunan aturan lokal tentang pengelolaan kawasan pesisir berbasis kearifan lokal, membentuk dan melatih kelompok perlindungan pesisir, sehingga masyarakat dapat lebih mengambil peran untuk menjaga lingkungannya sendiri dan tidak lagi melakukan aksi yang destruktif," ucapnya.

Selain mendorong perlindungan kawasan pesisir, Noni mengatakan pihaknya juga membangun kapasitas masyarakat di Dusun Huhua, Anauni, Pulau Kasuari, dan Naiselang dengan penguatan ekonomi yang dinilai dari tiga aspek kebutuhan, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi.

"Pengembangan ekonomi masyarakat berbasis potensi desa, jadi lebih banyak bermain program perikanan," ucapnya.

Sebagai bagian dari kawasan Wallasea, Buano memiliki keanekaragaman hayati yang harus dilindungi, salah satunya adalah spesies endemik Black-chinned Monarch atau Kehicap Boano (Monarcha boanensis) yang saat ini terancam punah akibat pembalakan liar.

Burung yang ditemukan pada 1918 dengan habitat hidup di hutan tropis dan sub tropis di dataran rendah berketinggian 150 meter dari permukaan laut itu, dinyatakan dalam kondisi kritis oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

"Burung langka karena jumlahnya diperkirakan mungkin hanya mencapai 200 atau 300an ekor," kata Noni.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016