Ambon, 22/2 (Antara Maluku) - Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Maluku, J. Walalayo mengatakan, tugas BPN sebagai panitia pengadaan lahan untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB) sudah selesai.

"Masalah lahan seluas 4,8 hektar ini sudah diselesaikan dan BPN ditugaskan oleh Undang-Undang untuk melaksanakan pengadaan tanah guna kepentingan umum sesuai Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya," kata Walalayo di Ambon, Rabu.

Proses pengadaan lahan terdiri dari empat tahap yakni perencanaan sesuai dokumen perencanaan dari PLN sebagai pengguna lahan, persiapan, pelaksanaan, serta tahapan penyerahan hasil.

Menurut dia, BPN sudah melakukan tugasnya sesuai mekanisme dimana tahapan yang porsinya adalah pemrov berdasarkan penetapan lokasi yang ditetapkan gubernur pada 30 September tahun 2014.

"Penetapan dari gubernur sudah ada berarti kita menganggap dokumen perencanaan yang diajukan oleh PLN sudah dinyatakan lengkap," ujarnya.

Tahap kedua adalah persiapan pemrintah provinsi bersama Pemkab Maluku Tengah berupa konsultasi publik menyampaikan tentang dokumen perencanaan untuk pelaksanaan program PLTPB 2 x 10 MW.

Konsultasi publik itu didalamnya sudah terkait dengan kepemilikan lahan, lokasi di mana, dan telah dicover.

Persoalannya nanti dibicarakan pada saat konsultasi publik dan masuk tahap tiga merupakan kewenangan BPN selaku ketua panitia pengadaan tanah (P2T) untuk kepentingan umum melakukan tahap ketiga.

Pembayaran ganti rugi juga sudah dilaksanakan pada Plan A, Plan C, Plan D, serta Plan E, termasuk akses jalan masuk karena sudah dinilai oleh apraisal dan telah rampung.

"Semua proses yang kami lakukan sangat terbuka, mulai saat pengukuran lahan melalui Satgas A bersama BPN yang tugasnya melakukan pengukuran serta identifikasi subjek dan objek terkait siapa saja pemilik lahan," katanya.

Kemudian satgas B melakukan pengumpulan data yuridis, melihat bukti kepemilikan jadi tahapan-tahapan awal sudah selesai dimana semua pihak telah menerima ganti rugi lahan.

Pada saat masuk Plan B, ini jadi persoalan rumit karena tim coba melakukan pendekatan berulang kali.

Masalah plan B terdapat komplain dari tiga pihak yakni masyarakat Tulehu yang jumlahnya 17 orang, keluarga Sitanala dan Patirane dari Suli.

"Kami melakukan pengukuran di lokasi Plan B yang luasnya 4,8 hektare dan pengukuran ini sesuai dokumen perencanaan dari PLN, dimana titik demi titik dan tidak pernah melakukan perubahan," jelas Walalayo.

Setelah diukur, gambar Plan B seluas 4,8 hektar seluruhnya dikomplain 19 warga Tulehu karena saat di lapangan tim didampingi pemerintah Negeri Tulehu.

"Nanti kalau masalahnya mereka cuma menanam dan bukan punya lahan, itu persoalan lain tetapi fakta yang tim temukan sudah ada tanaman umur panjang di lokasi Plan B," kata Walalayo.

Proses berlanjut setelah itu dikomplain Maks Sitanala 2,8 hektare dari total luas lahan sesuai putusan Pengadilan tahun 1976.

Kemudian keluarga Patirane komplain seluruh lahan tersebut miliknya, lalu masyarakat Tulehu juga komplain secara utuh sehingga tim menampung semua keberatan guna melakukan musyawarah berulang-ulang mulai dari pemerintah negeri Suli, Tulehu, dan Kantor Camat Salahutu sampai ke Kantor Gubernur Maluku

"Kami sudah berupaya bagaimana kelompok ini bisa berdamai dan tidak sampai ke pengadilan," tandasnya.

Sementara ganti rugi akses jalan diterima oleh Max Sitanala karena berdasarkan putusan pengadilan tahun 1976 tetapi ada keberatan juga dari masyarakat Tulehu kalau itu bukan miliknya.

"Kami cuma pelaksana dan tidak punya kewenangan objeknya milik siapa sebab sudah bersentuhan dengan sengketa keperdataan lalu kami coba caro solusi untuk menyelesaikan," tegas Walalayo.

Prinsipnya semua pihak tidak keberatan kalau proyek PLN jalan tetapi masalah ganti rugi ini yang jadi kendala yang belum terselesaikan

BPN bekerja sesuai ketentuan dan PLN juga berdasarkan kontrak sehingga panitia bisa terkena pinalti dan bertanggungjawab atas kerugian yang dialami PLN.

UU nomor 2 tahun 2012 mengisyaratkan bila terjadi sengketa dan sudah diupayakan tidak selesai, maka uang ganti rugi harus dititip ke pengadilan.

Makanya dana pembebasan lahan Rp4 miliar lebih sudah dititipkan dan pengadilan juga telah mengeluarkan penetapan dengan beberapa ketentuan diantaranya tidak menutup kemungkinan para pihak berupaya berdamai, atau opsi saling menggugat.

Bila ada putusan hukum yang inkarh baru siapa yang ditetapkan sebagai pemiliknya bisa mengambil uang tersebut, namun sampai saat ini tidak ada satu pun pihak yang mengajukan gugatan.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017