Adakah partai politik atau parpol di Indonesia yang secara konsisten sudah mendeklarasikan pltaform, ideologi, serta keberpihakan mereka?

"Sepanjang yang diamati selama ini kelihatannya belum ada, dan kita juga tidak bisa membedakan antara Partai Demokrat, Golkar, Partai Nasdem, atau pun yang lainnya kalau semuanya nasionalis," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn) Agus Wijojo.

Ungkapan itu disampaikan Agus Wijojo saat kunjungan kerja dan tatap muka DPRD Maluku dengan puluhan peserta didik Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI untuk mengikuti studi strategis dalam negeri (SSDN) PPSA XXI beberapa waktu lalu.

Mestinya parpol memiliki "barang" jualan, yang tadi dikatakan sebagai ideologi.

Misalnya Partai Golkar pada zaman orde baru. Pada zaman itu harga bahan kebutuhan pokok masyarakat cukup bagus, menyekolahkan anak mudah, dan keadaan keamanan tetap stabil.

Maka Partai Golkar akan menjual ideologi mereka, dan oleh karenanya pilihlah Partai Golkar yang mengusung ideologi pembangunan karena menjanjikan Indonesia akan kembali pada tingkat kesejahteraan di era orde baru.

Sekarang Partai Demokrat akan menjual barang dagangannya berupa demokrasi. Semua warga negara akan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan demokrasi dan punya kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politik, oleh karena itu pilihlah Partai Demokrat.

"Ini yang menjadi jualan partai sehingga kita sebagai rakyat atau pembeli dan parpol yang jualan, maka rakyat bila diajak kampanye jangan mau karena itu adalah urusan parpol," tandas Agus Wijojo.

Kesalahannya, karena saking semangatnya maka rakyat yang harusnya menjadi pembeli ketika diajak jualan justru mau jadi penjual, dan terkadang lebih fanatik.

Itulah yang sebetulnya dijual parpol di dalam pasar yang namanya pemilu legislatf dan nanti akan ada pemenang yang memenuhi persyaratan tentunya akan mengeluarkan calonnya untuk dilombakan dalam pilpres.

Menurut dia, pemilik sistem politik adalah rakyat dan namanya juga kedaulatan rakyat, sehingga ketika masuk dalam pilpres untuk memilih yang bisa mewakili rakyat.

"Karena walau pun kita pemilik kedaulatan, namun tidak bisa lagi kita seperti demokrasi kota di zaman Yunani atau Romawi kuno di mana ada persoalan kemudian semuanya kumpul di Monas, bagaimana kita memecahkan persoalan, ini sudah tidak memungkinkan lagi," tegasnya.

Oleh karenanya sekarang sudah berubah menjadi sistem demokrasi melalui perwakilan.

Rakyat memilih wakilnya untuk menjalankan negeri ini, pada tingkat nasional dia adalah presiden dan provinsi adalah kepala daerah.

Tetapi dia diberikan pinjaman mandat kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan untuk lima tahun, jalankan negeri ini, tingkatkan kesejaheraann rakyat dan memberikan rasa aman, namun harus diingat faktor kemanusiaan yang terkadang bisa khilaf dan juga lupa.

Sehingga rakyat memilih wakilnya di DPR, DPD, dan DPRD untuk mengontrol eksekutif dan ini sebetulnya hakekatnya.

Anggota DPR, DPD, DPRD itu sebetulnya stake holdernya siapa, dan bisakah loyalitas itu terbagi.

Karena yang pertama rakyat itu sudah diwakili parpol jadi sering didengar `Saya mewakili rakyat` seolah rakyat itu punya nilai absolut, tetapi tidaklah benar juga dan itu rakyat yang mana.

Rakyat bukannya hal yang paling penting dalam pengertian jangan sampai disalahgunakan bahwa rakyat itu punya pengertian yang absolut.

Sebab mereka sudah diakili parpol karena dalam setiap proses apakah itu pendidikan, pembinaan, atau pun politik akan selalu ada dua arah.

Arah pertama adalah button up dari bawah ke atas yang sifatnya aspirasi rakyat, tetapi dalam proses aspiratif ini apakah semua kemauan konstituen dari bawah ini harus dilaksanakan, memang tidak demikian sebab harus diimbangi juga dengan proses edukatif.

Bila semua keinginan rakyat terkotak-kotak, maka bisa terjadi konflik. Sehingga harus ada pendidikan bagi rakyat.


Masa Transisi

Indonesia sebetulnya berada pada masa transisi sejak tahun 1999, yakni dengan adanya amandemen UUD 1945 dan reformasi demokrasi.

Dengan adanya reformasi demokrasi, Indonesia mengalami transisi demokratisasi menuju demokrasi dan sistem politik demokrasi yang lebih demokratis.

Untuk itu mungkin ada berbagai perubahan yang sampai sekarang pun masih berjalan dan dicoba untuk menyesuaikan diri.

Hal penting yang dapat disampaikan kepada legislatif adalah dalam era sistem politik lama, lembaga legislatif adalah bagian dari pemerintahan.

Tetapi sekarang itu secara penuh adalah sebagai lembaga legislatif, kemudian di dalam UUD yang lama menyatakan kekuasaan itu dipegang oleh lembaga-lembaga sesuai ketentuan Undang-Undang.

Kalau dahulunya kekuasaan tertinggi secarta politik ada di lembaga MPR yang memilih Presiden dan Wapres, sekarang kewenangan itu berada pada lembaga-lembaga politik yang ditentukan dan diatur dalam UU.

Menurut dia, yang menonjol di antaranya adalah pemilihan Presiden dan Wapres yang tadinya oleh MPR, tetapi sekarang sistemnya secara langsung dipilih rakyat.

Semua anggota legislatif DPR, DPD, MPR dipilih oleh rakyat dan tidak ada lagi anggota legislatif yang diangkat seperti Fraksi TNI/Polri seperti dahulu.

"Ini bukan serta-merta dikatakan bahwa kualitas demokrasi lebih bagus dari yang dahulu sebab itu masalah sistem saja, karena sebetulnya pemilihan presiden oleh MPR sudah memenuhi ketentuan demokrasi, tergantung bagaimana kita melihatnya," ujarnya.

Tetapi pemilihan langsung oleh rakyat itu meningkatkan kredibilitas wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat, bahwa betul-betul ia dipilih rakyat secara langsung dan mendapatkan hasil capaian pilihan terbanyak.

Sehingga menambah kredibilitas pada pihak-pihak yang berhasil memenangkan pemilu kepala daerah atau legislatif dan mendapatkan suara terbanyak.

"Kita melihat secara umum gejala sekarang adalah mengapa ketika demokrasi ini dibuka ada kesan lebih banyak `Ketidak-tertiban`, dan saya tidak mengatakan kekacuan," katanya.

Secara umum dapat dikatakan kalau DPR dan DPRD ini menjadi lembaga yang paling penting dan terkadang juga kontroversial.

Mengapa demikian, karena di situlah tempat berkumpulnya partai politik yang memenuhi elecktoral treashold dan bisa mengirimkan perwakilannya di legislatif.

Di sinilah muncul pertanyaan, anggota dewan sebetulnya loyalitas dan kesetiaan mereka diberikan kepada siapa, apakah kepada rakyat yang memilih, kepada partai yang mencalonkan, ataukah kepada kepentingan umum atau nasional.

Situasi seperti ini sebetulnya jangan sampai membingungkan yang terhormat para anggora DPR-DPRD karena harus dipahami sistemnya seperti apa.

Sistemnya itu adalah bahwa apa sebetulnya peran partai politik, karena peran merek adalah untuk menyerap aspirasi yang ada di dalam masyarakat dan menawarkan kepada konstituwen yang akan memilih di dalam pemilu atau pilkada barang jualannya, maksudnya adalah idiologi atau platform.

Ideologi itu tidak berarti kapitalisme, komunisme, sosialisme, atau liberalisme. Bukan itu, melainkan ideologi berarti berbagai kebijakan yang menganut keberpihakan secara konsisten.

"Saya berikan contoh di Amerika Serikat hanya ada dua partai yakni Partai Demokrat dan Partai Republik, tetapi orang sudah bisa memperkirakan kalau Partai Demokrat yang menang dan mengisi Gedung Putih, maka perilakunya sudah bisa diperkirakan bagaimana dan begitu juga sebaliknya," jelas Agus Widjojo.

Bila Partai Republik yang menang dalam eksekutif maka dia akan cenderung memperkuat peran negara, dan di dalam pencapaian tujuan nasional misalnya perluasan nilai-nilai demokrasi.

Bagaimana pandangan Partai Republik terhadap golongan miskin, karena dia mengutamakan peran negara maka dia akan mengatakan tanggungjawabnya adalah memberikan ruang yang adil untuk bersaing, dan yang menang bersaing akan menjadi sejahtera.

Jadi terhadap golongan yang miskin dianggap kesalahan sendiri karena tidak memanfaatkan kesempatan bersaing yang telah diberikan dan dia kalah bersaing.

Sebaliknya Partai Demokrat yang menang juga mencapai tujuan yang sama, misalnya perluasan demokrasi ke dalam dunia internasional.

Hanya saja mereka tidak menggunakan instrumen-instrumen negara seperti militer tetapi memakai civil sociaty dan non government organization (NGO).

Seperti ketika Bill Clinton menjadi presiden, bagaimana NGO kemudian dengan derasnya menyampaikan platform mereka ke masyarakat Indonesia.

Pewarta: *

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017