Ambon, 16/5 (Antaranews Maluku) - Dikotomi antara pemerintah dengan DPR-RI dalam menyelesaikan revisi Undang-Undang Terorisme harus dihentikan mengingat intensitas teroris yang melakukan aksi di beberapa wilayah di tanah air semakin marak.

"Ada pernyataan kontroversial dimana pemerintah menyatakan kalau DPR RI yang terlambat, sementara dari Pansus DPRD RI menjelaskan pemerintah berulang kali menarik kembali UU yang akan direvisi tersebut," kata ketua komisi A DPRD Maluku, Melkias Frans di Ambon, Rabu.

Dalam catatannya, Pansus DPR-RI menyatakan pemerintah sudah 15 kali menarik kembali UU yang akan direvisi tersebut dan belum ada kesepakatan terkait batasan atau definisi teroris, atau lembaga-lembaga negara yang akan menangani teroris.

"Intinya dengan kejadian ini kita berharap agar dikotomi antara pemerintah dan DPR berhenti, jangan seperti anak-anak kecil untuk menyelesaikan persoalan terorisme apakah polisi dan TNI atau sebaliknya yang terkait di dalamnya mengatasi dan sekaligus mengantispiasinya," tegas Melkias Frans.

Karena kejadian serangan teror ini secara masif dan hampir merata seperti di Jakarta, Surabaya dan Sidoarjo (Jatim), Jawa Tengah dan sekarang di Kepulauan Riau.

"Khussus di Maluku, Polda dan seluruh jajaran juga harus tetap siaga penuh, disampig itu masyarakat mau memberi informasi dan jangan melindungi mereka di lingkungan dimana mereka berada," katanya.


Terbitkan Perppu

Salah satu praktisi hukum Maluku, Hendrik Lusikoy, M. Hum mengatakan, bila persoalan revisi UU terorisme terjadi tarik ulur sejak tahun 2016 maka pemerintah sudah seharusnya bertindak cepat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Mengingat aksi-aksi terorisme ini semakin marak sementara payung hukumnya sendiri belum selesai direvisi, maka pandangan kami bila penerbitan Perppu sudah menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak," tandasnya.

Kalau UU terorisme ini sudah direvisi dan diberlakukan, maka aparat keamanan seperti TNI bersama Polri sudah dapat melakukan pencegahan aksi teror sejak dini.

Bila ada indikasi pelaku-pelaku terorisme ini berada dalam sebuah organisasi maka seharusnya dibuat revisi dan melarang atau menyatakan organisasi itu terlarang.

"Sebab keterlambatan itu dan revisi sampai sekarang belum selesai maka menurut saya, seharusnya Perppu itu sudah harus keluar lalu menyatakan organisasi-organisasi yang melakukan aksi terorisme sebagai organisasi terlarang," tandasnya.

Karena kalau belum dinyatakan sebagai organisasi terlarang, polisi tidak bisa berbuat banyak dan harus ada aksi terlebih dahulu di lapangan yang sudah menimbulkan korban jiwa baru bisa ditangkap.

Namun sepanjang belum ada aksi di lapangan maka polisi tidak bisa melakukan penangkapan, karena takut dibilang melakukan pelanggaran HAM.

"Tetapi kalau sudah ada penetapan sebuah organisasi ekstrim itu terlarang dan pergerakan anggotanya kemana saja tentu akan ditangkap seperti JID dan JAD," ujar Hendrik yang juga Sekretaris Yayasan Pos Bankum Maluku.

Polisi bisa bertindak bila ada indikasi perbuatan melakukan teror dan bisa ditangkap kalau sudah ada UU, tetapi sepanjang belum direvisi maka polisi bersama TNI tidak bisa menghabiskan para pentolan teroris.

Sehingga untuk sekarang ini payung hukumnya masih lemah karena hanya mengkategorikan terorisme secara umum, ada aksi dahulu baru bisa ditangkap.

"Pelarangan organisasi tertentu juga merupakan langkah antisipasi pemerintah lebih dini guna mencegah aksi terorisme semakin berkembang, jadi kalau terlambat dengan revisi UU maka Perppu harus dikeluarkan," katanya.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018